Kamis, 09 Desember 2010

Muhammadiyah Bentuk Inkopsyah

JAKARTA--Sinergi untuk menyatukan Baitul Tamwil Muhammadiyah (BTM) tercakup dalam rencana pembentukan Induk Koperasi Syariah (Inkopsyah). Majelis Ekonomi Muhammadiyah pun memutuskan untuk membentuk Inkopsyah dalam rapat koordinasi dengan BTM.

Ketua Majelis Ekonomi Muhammadiyah, Anwar Abbas, mengatakan sektor yang terdapat di Muhammadiyah baik di sektor pendidikan, kesehatan dan keuangan mikro belum tersinergi dengan kuat. "Kita harus sinergikan unit bisnis rumah sakit, usaha kecil dan menengah dan pendidikan dan mengeloalnya sebagai bagian dari korporasi Muhammadiyah," kata Anwar dalam rapat pendirian Inkopsyah BTM di Gedung Muhammadiyah, Selasa (8/12).

Ia menambahkan, dengan hadirnya Inkopsyah akan mempermudah dalam bekerjasama dengan perbankan. Inkopsyah BTM juga menjadi lembaga strategis untuk mengembangkan lembaga keuangan mikro Muhammadiyah yang dikelola secara profesional.

Perwakilan Deputi Bidang Kelembagaan Koperasi Kementerian Negara Koperasi dan UKM, Rudi Faisal, menyambut baik pendirian Inkopsyah BTM tersebut. Ia menuturkan Inkopsyah tersebut nantinya juga bisa bekerjasama dengan Lembaga Pengelola Dana Bergulir (LPDB) Kemenegkop dalam hal pembiayaan.

Usaha mikro Indonesia yang mencapai 51 juta, jelas dia, menjadi peluang bagi BTM untuk turut serta membantu dalam permodalan usaha mikro. Pasalnya bank umum atau bank perkreditan rakyat belum tentu dapat menjangkau masyarakat hingga ke pelosok. "Untuk penyaluran pun tak menutup kemungkinan BTM ini dapat menjangkau tidak hanya masyarakat Muhammadiyah tetapi juga seluruh rakyat indonesia," ujar Rudi.

Selain itu, tambahnya, Muhammadiyah pun setidaknya dapat membentuk suatu lembaga pendidikan dan pelatihan usaha kecil, mikro, dan koperasi untuk dapat melatih usaha-usaha masyarakat. "Muhammadiyah juga kuat di sektor pendidikan. Coba ada juga lembaga diklat untuk UKM dan ada sertifikasinya dimana nantinya juga disediakan tenaga pendamping. Hal itu akan membantu pula pengembangan keuangan mikro di Indonesia," kata Rudi. gie/taq

Rabu, 09 Desember 2009

BSM Targetkan 130 Cabang Baru

SRAGEN--Bank Syariah Mandiri (BSM) menargetkan menambah 130 kantor cabang baru di seluruh Indonesia pada 2010 untuk meningkatkan layanan kepada nasabah. "Hingga menjelang akhir 2009 kami telah membuka 376 'outlet' di seluruh Indonesia," kata Kepala Divisi Jaringan Bank Syariah Mandiri Edwin Iswan Siregar di Sragen, Selasa (8/12).

Gerai yang ada saat ini, kata dia, mendapat apresiasai yang positif dari masyarakat Indonesia. "Hal tersebut ditunjukkan dengan pertumbuhan jumlah nasabah dan penyaluran dana sebesar 35 persen," kata Edwin saat peresmian Bank Syariah Mandiri Kantor Kas Sragen.

Tren positif tersebut mendorong Bank Syariah membuka jaringan ke sejumlah daerah lain di Indonesia yang belum terdapat kantor cabang bank tersebut. Selain itu, kata dia, Bank Syariah Mandiri juga akan meningkatkan status pada 170 kantor cabang pembantu menjadi kantor cabang. "Hal tersebut dilakukan untuk meningkatkan pelayanan kepada nasabah Bank Syariah Mandiri," kata dia.

Menurut dia, tren positif terhadap bank syariah, terutama Bank Syariah Mandiri disebabkan bagi hasil yang lebih besar pada bank jenis tersebut dibandingkan bank umum. Selain itu, lanjutnya, ada produk yang lebih beragam dari bank syariah, salah satunya adalah jasa talangan haji yang ditawarkan Bank Syariah Mandiri, yang menjadi salah satu daya tarik nasabah."Melihat tren positif tersebut, kami optimistis untuk meraih terget pertumbuhan sebesar 40 persen pada 2010," kata Edwin Iswan Siregar.

Sementara itu, kepala kantor "outlet" baru Bank Syariah Mandiri di Kabupaten Sragen Topo Sutanto mengatakan, pihaknya optimistis dapat meraih pasar di daerah tersebut. "Saat ini kami menargetkan kalangan umum di Sragen sebagai nasabah kami karena karakteristik daerah ini bukan sebagai kota jasa dan industri," kata dia. Melihat tren positif di daerah-daerah lain di Indonesia, kata Topo, pihaknya optimistis dapat meraih hasil serupa di Sragen. ant/taq

Selasa, 10 November 2009

Tinjauan Syariah Produk Deposito Mudhorobah

1. PENDAHULUAN

Dalam hal strategi pengembangan perbankan syariah dan produk-produknya, Indonesia memilih pendekatan yang bertahap dan berkesinambungan (gradual and sustainable) yang sesuai Syariah (comply to Sharia principles) dan tidak mengadopsi akad-akad yang kontroversial. Pendekatan yang bertahap dan berkesinambungan memungkinkan perkembangan yang sesuai dengan keadaan dan kesiapan pelaku tanpa dipaksakan serta membentuk sistem yang kokoh dan tidak rapuh. Sementara itu, pendekatan yang berhati-hati yang sesuai dengan prinsip Syariah menjamin produk-produk yang ditawarkan terjamin kemurnian Syariah-nya dan dapat diterima masyarakat luas dan dunia internasional.

Dengan strategi pengembangan yang dipilih, perbankan syariah di Indonesia telah tumbuh menjadi salah satu sistem perbankan syariah dalam dual financial system yang paling sesuai dengan ketentuan Syariah. Selain itu, pengembangan perbankan syariah memiliki dampak positif terhadap pengembangan sektor lain dengan prinsip Syariah.

Setelah bank syariah pertama berdiri pada tahun 1992, asuransi syariah atau Takaful mulai muncul pada tahun 1994 dengan berdirinya Asuransi Takaful Keluarga. Setelah itu, muncul Jakarta Islamic Index (JII) yang merupakan pengelompokan saham-saham 30 emiten yang dipandang paling mendekati kriteria syariah.

Meskipun demikian, setiap saat tetap diperlukan kajian-kajian terhadap produk-produk perbankan syariah untuk memastikan kesesuaian dengan kaidah-kaidah syariah sehingga perkembangan perbankan syariah bersifat menyeluruh, baik dari segi kuantitas dengan menjangkau masyarakat yang lebih luas maupun kualitas dengan memenuhi seluruh kaidah-kaidah syariah.

1.1 Latar Belakang

Bank Syariah berfungsi sebagai penghimpun dana dari nasabah dan penyalur dana bagi kegiatan sector riil. Salah satu dasar hukum yang digunakan adalah Mudharabah.
Mudharabah dijadikan landasan hukum untuk produk Deposito Mudharabah yang bertujuan menghimpun dana nasabah dan menyalurkannya dalam bentuk Pembiayaan Mudharabah. Kedua produk tersebut ditawarkan dengan skema bagi hasil. Pada Deposito Mudharabah, nasabah sebagai shahibul maal akan memperoleh nisbah sesuai dengan keuntungan Bank. Pada Pembiayaan Mudharabah, Bank sebagai shahibul maal akan memperoleh nisbah sesuai dengan keuntungan Mudharib.

Untuk mencermati lebih jauh bagaimana kesesuaian produk Bank Syariah, khususnya Deposito Mudharabah dan Pembiayaan Mudharabah, dengan sistem Mudharabah dalam literatur fiqih maka disusunlah kajian syariah terhadap produk tersebut yang dituangkan ke dalam makalah ini.

1.2 Rumusan Masalah

Dewasa ini Perbankan Syariah mengimplementasikan Fiqh Mudharabah dalam bentuk produk Deposito Mudharabah dan Pembiayaan Mudharabah. Mengingat kemungkinan timbulnya pergeseran ‘nilai’ yang mungkin terjadi, diperlukan kajian syariah terhadap kedua produk tersebut sehingga dapat dinilai sejauh mana kesesuaian produk tersebut dengan kaidah fiqh-nya.

1.3 Pertanyaan Penelitian

Sejauh mana Deposito Mudharabah dan Pembiayaan Mudharabah sebagai Produk Perbankan Syariah telah memenuhi kaidah-kaidah Syariah/Fiqh?

2. LANDASAN SYARIAH MUDHARABAH

Dalam Fiqh Muamalah Mudharabah merupakan salah satu bentuk kerjasama antara Shahibul maal (investor) dengan seorang pihak kedua (Mudharib) yang berfungsi sebagai pengelola dalam berdagang. Istilah Mudharabah oleh ulama fiqh Hijaz disebutkan dengan Qiradh.

2.1 Definisi menurut Fiqh

Mudharabah berasal dari kata dharb, berarti memukul atau berjalan. Pengertian memukul atau berjalan ini lebih tepatnya adalah proses seseorang memukul kakinya dalam menjalankan usaha.

Secara terminologi, para Ulama Fiqh mendefinisikan Mudharabah atau Qiradh dengan:
“Pemilik modal (investor) menyerahkan modalnya kepada pekerja (pedagang) untuk diperdagangkan, sedangkan keuntungan dagang itu menjadi milik bersama dan dibagi menurut kesepakatan”.

Mudharib menyumbangkan tenaga dan waktunya dan mengelola kongsi mereka sesuai dengan syarat-syarat kontrak. Salah satu ciri utama dari kontrak ini adalah bahwa keuntungan, jika ada, akan dibagi antara investor dan mudharib berdasarkan proporsi yang telah disepakati sebelumnya. Kerugian, jika ada, akan ditanggung sendiri oleh si investor.

Berdasarkan Kamus Populer Keuangan dan Ekonomi Syariah, Mudharabah didefinisikan sebagai penanaman dana dari pemilik dana (shahibul maal) kepada pengelola dana (mudharrib) untuk melakukan kegiatan usaha tertentu, dengan pembagian menggunakan metode bagi untung dan rugi (profit and loss sharing) atau metode bagi pendapatan (revenue sharing) antara kedua belah pihak berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya.

Dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional Tentang Pembiayaan Mudharabah (Qiradh) diterangkan bahwa dalam rangka mengembangkan dan meningkatkan dana lembaga keuangan syari’ah (LKS), pihak LKS dapat menyalurkan dananya kepada pihak lain dengan cara mudharabah, yaitu akad kerjasama suatu usaha antara dua pihak di mana pihak pertama (malik, shahib al-mal, LKS) menyediakan seluruh modal, sedang pihak kedua (‘amil, mudharib, nasabah) bertindak selaku pengelola, dan keuntungan usaha dibagi di antara mereka sesuai kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak.

2.2 Hukum Mudharabah

Secara eksplisit Al-Qur’an tidak menjelaskan langsung mengenai hukum Mudharabah, namun Al-Qur’an memuat akar kata dl-r-b yang darinya kata Mudharabah diambil. Mekipun ayat-ayat Al-Qur’an tersebut memiliki kaitan yang cukup jauh dengan Mudharabah. Dalam ayat-ayat tersebut menunjukkan arti “perjalanan” atau “perjalanan untuk tujuan dagang”.

Dalam Islam akad mudharabah dibolehkan, karena bertujuan untuk saling membantu antara rab al-mal (investor) dengan pengelola dagang (mudharib). Demikian dikatakan oleh Ibn Rusyd (w.595/1198) dari madzhab Maliki bahwa kebolehan akad mudharabah merupakan suatu kelonggaran yang khusus.

Meskipun mudharabah tidak secara langsung disebutkan oleh al-Qur‟an atau Sunnah, ia adalah sebuah kebiasaan yang diakui dan dipraktikkan oleh umat Islam, dan bentuk dagang semacam ini tampaknya terus hidup sepanjang periode awal era Islam sebagai tulang punggung perdagangan karavan dan perdagangan jarak jauh.

Dasar hukum yang biasa digunakan oleh para Fuqaha tentang kebolehan bentuk kerjasama ini adalah firman Allah dalam Surah al-Muzzammil ayat 20 :

“....dan sebagian mereka berjalan di bumi mencari karunia Allah....” (Al-muzammil : 20).

Dan dalam Surah al-Baqarah ayat 198 :

“Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perdagangan) dari Tuhanmu....”. (al-Baqarah : 198).

Kedua ayat tersebut di atas, secara umum mengandung kebolehan akad mudharabah, yang secara bekerjasama mencari rezeki yang ditebarkan Allah SWT di muka bumi.

Kemudian dalam Sabda Rasulullah SAW. dijumpai sebuah riwayat dalam kasus mudharabah yang dilakukan oleh Abbas Ibn al-Muthalib yang artinya :

“Tuan kami ‘Abbas Ibn Abd al-Muthalib’ jika menyerahkan hartanya (kepada seorang yang pakar dalam perdagangan) melalui akad mudharabah, dia mengemukakan syarat bahwa harta itu jangan diperdagangkan melalui lautan, juga jangan menempuh lembah-lembah, dan tidak boleh dibelikan hewan ternak yang sakit tidak dapat bergerak atau berjalan. Jika (ketiga) hal itu dilakukan, maka pengelola modal dikenai ganti rugi. Kemudian syarat yang dikemukakanAbbas Ibn Abd al-Muthalib ini sampai kepada Rasulullah SAW, dan Rasul membolehkannya”. (HR. Ath-Tabrani).

Dikatakan bahwa Nabi dan beberapa Sahabat pun terlibat dalam kongsi-kongsi Mudharabah. Menurut Ibn Taimiyyah, para fuqaha menyatakan kehahalan mudharabah berdasarkan riwayat-riwayat tertentu yang dinisbatkan kepada beberapa Sahabat tetapi tidak ada Hadits sahih mengenai mudharabah yang dinisbatkan kepada Nabi.

2.3 Rukun dan Syarat

Dalam hal rukun akad mudharabah terdapat beberapa perbedaan pendapat antara Ulama Hanafiyah dengan Jumhur Ulama. Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa yang menjadi rukun akad mudharabah adalah Ijab dan Qabul.

Sedangkan Jumhur Ulama menyatakan bahwa rukun akad mudharabah adalah terdiri atas orang yang berakad, modal, keuntungan, kerja dan kad; tidak hanya terbatas pada rukun sebagaimana yang dikemukakan Ulama Hanafiyah, akan tetapi, Ulama Hanafiyah memasukkan rukun-rukun yang disebutkan Jumhur Ulama itu, selain Ijab dan Qabul sebagai syarat akad mudharabah.

Adapun syarat-syarat mudharabah, sesuai dengan rukun yang dikemukakan Jumhur Ulama di atas adalah :

1. Orang yang berakal harus cakap bertindak hukum dan cakap diangkat sebagai wakil.
2. Mengenai modal disyaratkan: a) berbentuk uang, b) jelas jumlahnya, c) tunai, dan d) diserahkan sepenuhya kepada mudharib (pengelola). Oleh karenanya jika modal itu berbentuk barang, menurut Ulama Fiqh tidak dibolehkan, karena sulit untuk menentukan keuntungannya.
3. Yang terkait dengan keuntungan disyaratkan bahwa pembagian keuntungan harus jelas dan bagian masing-masing diambil dari keuntungan dagang itu.

2.4 Klasifikasi Mudharabah

Kerja sama Mudharabah dikelompokan menjadi 2 (dua), yaitu:

• Mudharabah Muthlaqah, Adalah sistem mudharabah yang dalam hal ini, pemilik modal (shahib al mal atau investor) menyerahkan modal kepada pengelola tanpa pembatasan jenis usaha, tempat dan waktu, ataupun dengan siapa pengelola bertransaksi. Jenis ini memberikan kebebasan kepada mudhaarib (pengelola modal) untuk melakukan apa saja yang dipandang dapat mewujudkan kemaslahatan.

• Mudharabah Muqayyadah, Dalam hal ini pemilik modal (investor) menyerahkan modal kepada pengelola dan menentukan jenis usaha, tempat, waktu, ataupun pihak-pihak yang dibolehkan bertransaksi dengan mudharib.

Persyaratan pada jenis yang kedua ini diperselisihkan para ulama mengenai keabsahannya. Namun yang rajih, pembatasan tersebut berguna dan sama sekali tidak menyelisihi dalil syar’i, karena hanya sekedar ijtihad dan dilakukan berdasarkan kesepakatan dan keridhaan kedua belah pihak, sehingga wajib ditunaikan. Demikianlah yang dirajihkan oleh penulis kitab Al-Fiqh Al-Muyassar halaman.187

2.5 Fatwa DSN

Pertama : Ketentuan Pembiayaan:

1. Pembiayaan Mudharabah adalah pembiayaan yang disalurkan oleh LKS kepada pihak lain untuk suatu usaha yang produktif.

2. Dalam pembiayaan ini LKS sebagai shahibul maal (pemilik dana) membiayai 100 % kebutuhan suatu proyek (usaha), sedangkan pengusaha (nasabah) bertindak sebagai mudharib atau pengelola usaha.

3. Jangka waktu usaha, tatacara pengembalian dana, dan pembagian keuntungan ditentukan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak (LKS dengan pengusaha).

4. Mudharib boleh melakukan berbagai macam usaha yang telah disepakati bersama dan sesuai dengan syari’ah; dan LKS tidak ikut serta dalam managemen perusahaan atau proyek tetapi mempunyai hak untuk melakukan pembinaan dan pengawasan.

5. Jumlah dana pembiayaan harus dinyatakan dengan jelas dalam bentuk tunai dan bukan piutang.

6. LKS sebagai penyedia dana menanggung semua kerugian akibat dari mudharabah kecuali jika mudharib (nasabah) melakukan kesalahan yang disengaja, lalai, atau menyalahi perjanjian.

7. Pada prinsipnya, dalam pembiayaan mudharabah tidak ada jaminan, namun agar mudharib tidak melakukan penyimpangan, LKS dapat meminta jaminan dari mudharib atau pihak ketiga. Jaminan ini hanya dapat dicairkan apabila mudharib terbukti melakukan pelanggaran terhadap hal-hal yang telah disepakati bersama dalam akad.

8. Kriteria pengusaha, prosedur pembiayaan, dan mekanisme pembagian keuntungan diatur oleh LKS dengan memperhatikan fatwa DSN.

9. Biaya operasional dibebankan kepada mudharib.

10. Dalam hal penyandang dana (LKS) tidak melakukan kewajiban atau melakukan pelanggaran terhadap kesepakatan, mudharib berhak mendapat ganti rugi atau biaya yang telah dikeluarkan.

Kedua : Rukun dan Syarat Pembiayaan:

1. Penyedia dana (sahibul maal) dan pengelola (mudharib) harus cakap hukum.

2. Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad), dengan memperhatikan hal-hal berikut:
a. Penawaran dan penerimaan harus secara eksplisit menunjukkan tujuan kontrak (akad).
b. Penerimaan dari penawaran dilakukan pada saat kontrak.
c. Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi, atau dengan menggunakan cara-cara komunikasi modern.

3. Modal ialah sejumlah uang dan/atau aset yang diberikan oleh penyedia dana kepada mudharib untuk tujuan usaha dengan syarat sebagai berikut:
a. Modal harus diketahui jumlah dan jenisnya.
b. Modal dapat berbentuk uang atau barang yang dinilai. Jika modal diberikan dalam bentuk aset, maka aset tersebut harus dinilai pada waktu akad.
c. Modal tidak dapat berbentuk piutang dan harus dibayarkan kepada mudharib, baik secara bertahap maupun tidak, sesuai dengan kesepakatan dalam akad.

4. Keuntungan mudharabah adalah jumlah yang didapat sebagai kelebihan dari modal. Syarat keuntungan berikut ini harus dipenuhi:
a. Harus diperuntukkan bagi kedua pihak dan tidak boleh disyaratkan hanya untuk satu pihak.
b. Bagian keuntungan proporsional bagi setiap pihak harus diketahui dan dinyatakan pada waktu kontrak disepakati dan harus dalam bentuk prosentasi (nisbah) dari keun-tungan sesuai kesepakatan. Perubahan nisbah harus berdasarkan kesepakatan.
c. Penyedia dana menanggung semua kerugian akibat dari mudharabah, dan pengelola tidak boleh menanggung kerugian apapun kecuali diakibatkan dari kesalahan disengaja, kelalaian, atau pelanggaran kesepakatan.

5. Kegiatan usaha oleh pengelola (mudharib), sebagai perimbangan (muqabil) modal yang disediakan oleh penyedia dana, harus memperhatikan hal-hal berikut:
a. Kegiatan usaha adalah hak eksklusif mudharib, tanpa campur tangan penyedia dana, tetapi ia mempunyai hak untuk melakukan pengawasan.
b. Penyedia dana tidak boleh mempersempit tindakan pengelola sedemikian rupa yang dapat menghalangi tercapainya tujuan mudharabah, yaitu keuntungan.
c. Pengelola tidak boleh menyalahi hukum Syari’ah Islam dalam tindakannya yang berhubungan dengan mudhara-bah, dan harus mematuhi kebiasaan yang berlaku dalam aktifitas itu.

Ketiga : Beberapa Ketentuan Hukum Pembiayaan:

1. Mudharabah boleh dibatasi pada periode tertentu.

2. Kontrak tidak boleh dikaitkan (mu’allaq) dengan sebuah kejadian di masa depan yang belum tentu terjadi.

3. Pada dasarnya, dalam mudharabah tidak ada ganti rugi, karena pada dasarnya akad ini bersifat amanah (yad al-amanah), kecuali akibat dari kesalahan disengaja, kelalaian, atau pelanggaran kesepakatan.

4. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.


3. PRODUK PERBANKAN SYARIAH: DEPOSITO MUDHARABAH

Pembahasan mudharabah dalam Perbankan Islam lebih cenderung bersifat aplikatif dan praktis, jika dibandingkan dengan literatur fiqh yang bersifat teoritis. Kontrak mudharabah bank-bank Islam saat ini sudah menjamur diseluruh dunia, terutama di Timur Tengah. Perbankan Islam telah menjadi istilah yang sudah tidak asing baik di dunia Muslim maupun di dunia Barat. Istilah tersebut mewakili suatu bentuk perbankan dan pembiayaan yang berusaha menyediakan layanan-layanan bebas „bunga‟ kepada para nasabah.

Umumnya, kontrak mudharabah digunakan dalam perbankan Islam untuk tujuan dagang jangka pendek dan untuk suatu kongsi khusus. Kontrak-kontrak tersebut yang ada seringkali berarti jual-beli barang, yang menunjukkan sifat dagang dari kontrak ini19. Para nasabah bank Islam mengikuti kontrak-kontrak mudharabah dengan bank Islam. Mudharib (nasabah) setelah menerima dukungan pendanaan dari bank, membeli sejumlah atau senilai tertentu dari barang yang sangat spesifik dari seorang penjual dan menjualnya kepada pihak ketiga dengan suatu laba. Sebelum disetujuinya pendanaan, mudharib memberikan kepada bank segala perincian mendetail yang terkait dengan barang, sumber dimana barang dapat dibeli serta semua biaya yang terkait dengan pembelian barang tersebut. Kepada bank mudharib menyajikan pernyataan-pernyataan finansial yang disyaratkan menyangkut harga jual yang diharapkan, arus kas (cash flow) dan batas laba (profit margin), yang akan dikaji oleh bank sebelum diambil keputusan apapun tentang pendanaan. Biasanya bank akan memberi dana yang diperlukan jika ia telah cukup puas dengan batas laba yang diharapkan atas dana yang diberikan.


3.1 Paket Produk Deposito Mudharabah

• Deposito BSM adalah produk investasi berjangka waktu tertentu dalam mata uang rupiah yang dikelola berdasarkan prinsip Mudharabah Muthlaqah.
• "Merupakan pilihan investasi dalam mata uang rupiah maupun USD dengan jangka waktu 1, 3, 6 dan 12 bulan yang ditujukan bagi Anda yang ingin berinvestasi secara halal, murni sesuai syariah. Dana Anda akan diinvestasikan secara optimal untuk membiayai berbagai macam usaha produktif yang berguna bagi kepentingan Ummat."
• Deposito dengan prinsip mudharabah adalah simpanan nasabah untuk ikut menginvestasikan dananya di Bank yang diperjanjikan untuk jangka tertentu 1,3,6,12 dan 24 bulan dan akan mendapatkan imbalan bagi hasil yang disepakati bersama atas hasil usaha bank, disamping itu nasabah dapat mensyaratkan investasinya pada usaha tertentu atas keinginannya.

Karakteristik:
a. Jangka waktu yang fleksibel antara 1, 3, 6 dan 12 bulan
b. Deposito tidak dapat dicairkan sebelum jatuh tempo
c. Fasilitas Automatic Roll Over
d. Bagi hasil dapat menambah pokok deposito, ditransfer, atau dipindahbukukan ke rekening tabungan atau giro.
e. Dapat digunakan sebagai jaminan pembiayaan atau untuk referensi Bank Muamalat.
Manfaat:
• Dana aman dan terjamin, sesuai penjaminan pemerintah
• Mendapatkan bagi hasil yang kompetitif
• Dapat dijadikan jaminan dana talangan/pembiayaan.
• Memperoleh bagi hasil yang sangat menarik setiap bulan.
• Investasi disalurkan untuk pembiayaan usaha produktifyang halal.
• Aman dan terjamin.
• Bagi Hasil yang kompetitif setiap bulan dengan nisbah antara Bank:Nasabah sebagai berikut ;
1. Jangka Waktu 1 Bulan nisbah Bank:Nasabah (38%:62%)
2. Jangka Waktu 3 Bulan nisbah Bank:Nasabah (35%:65%)
3. Jangka Waktu 6 Bulan nisbah Bank:Nasabah (35%:65%)
4. Jangka Waktu 12 Bulan nisbah Bank:Nasabah (35%:65%)
5. Jangka Waktu 24 Bulan nisbah Bank:Nasabah (35%:65%)
• Membantu Perencanaan investasi anda
• Membantu Pengembangan UKM
• Perpanjangan jangka waktu dapat dilakukan secara otomatis
• Pemindah bukuan bagi hasil secara otomatos (online) ke rekening anda.
Peruntukkan:
1. Individu/Perorangan
2. Badan Usaha/Badan hukum.
Persyaratan:
Dokumen/Biaya Perorangan Perusahaan/Badan Hukum
Kartu Identitas KTP/SIM/Paspor Nasabah 1. KTP Pengurus
2. Akte Pendiri
3. SIUP
4. NPWP
Min setoran awal Rp500.000,- Rp1.000.000,-
Biaya Administrasi Break Deposito Rp30.000,- Rp30.000,-
Biaya Materai Rp6.000,- Rp6.000,-
Contoh Perhitungan:
Deposito Ibu Fitri Rp1.000.000,- berjangka waktu 1 bulan. Perbandingan bagi hasil (nisbah) antara bank dan nasabah adalah 48:52. Bila dianggap total saldo deposito semua deposan adalah Rp200.000.000,- dan pendapatan bank yang dibagi-hasilkan untuk deposan adalah Rp3.000.000,- maka bagi hasil yang didapat oleh Ibu Fitri adalah:
Rp1.000.000,-
Rp200.000.000,- x Rp3.000.000,- x 52 % = Rp7.800,-
(sebelum dipotong pajak)

3.2 Pembiayaan Mudharabah
3.3 Skema Pengelolaan Produk Deposito Mudharabah & Pembiayaan Mudharabah
Implementasi Mudharabah dalam pengelolaan produk Deposito Mudharabah adalah sebagai berikut:

• Jumlah modal yang diserahkan kepada nasabah selaku pengelola modal; harus diserahkan tunai, dapat berupa uang atau barang yang dinyatakan nilainya dalam satuan uang. Apabila modal diserahkan secara bertahap, harus jelas tahapannya dan disepakati bersama.
• Hasil dan pengelolaan modal pembiayaan mudharabah dapat diperhitungkan dengan dua cara:
o Perhitungan dari pendapatan proyek (revenue sharing)
o Perhitungan dari keuntungan proyek (profit sharing)
• Hasil usaha dibagi sesuai dengan persetujuan dalam akad, pada setiap bulan atau waktu yang disepakati. Bank selaku pemilik modal menanggung seluruh kerugian kecuali akibat kelalaian dan penyimpangan pihak nasabah, seperti penyeleweng-an, kecurangan dan penyalahgunaan dana.
• Bank berhak melakukan pengawasan terhadap pekerjaan namun tidak berhak mencampuri urusan pekerjaan/usaha nasabah. Jika nasabah cidera janji dengan sengaja misalnya tidak mau membayar kewajiban atau menunda pembayaran kewa¬jiban, dapat dikenakan sanksi administrasi.

Modal

Kontrak-kontrak mudharabah bank Islam menentukan jumlah modal yang digunakan dalam kongsi. Ringkasnya, tidak ada dana tunai yang diberikan kepada mudharib. Jumlah modal diangsur ke dalam rekening mudharabah yang oleh bank dibuka untuk tujuan pengelolaan mudharabah. Karena umumnya mudharabah untuk tujuan pembelian barang-barang tertentu, maka bank sendirilah yang melakukan pembayaran kepada penjual. Dana-dana yang diberikan oleh bank sebagai modal tidak dalam penanganan mudharib dan ia tidak dapat menggunakannya untuk tujuan lain.
Bagaimanapun juga, bank Islam, misalnya, menyatakan dalam kontrak mudharabah mereka bahwa mudharib tidak boleh menggunakan dana yang diberikan kepadanya untuk tujuan apapun selain yang telah ditetapkan dalam kontrak20, sebuah kalusul yang tampaknya agak kurang berarti dalam praktik.

Manajemen
Mudharib menjalankan mudharabah dan mengatur pembelian, penyimpanan, pemasaran, dan penjualan barang. Kontrak menetapkan secara detail bagaimana ia harus mengelola mudharabah. Mudharib harus memastikan bahwa deskripsi yang benar tentang barang telah tersedia pada saat pengajuan pendanaan. Ia pribadi bertanggung jawab atas segala kerugian atau biaya yang diakibatkan oleh suatu kesalahan atas spesifikasi karena bank tidak akan menanggung segala kerugian semacam ini. Ia harus menyimpannya baik-baik. Ringkasnya, mudharib harus mematuhi syarat-syarat terinci dari kontrak dalam kaitannya dengan manajemen kongsi, syarat-syarat yang mana umumnya ditentukan oleh bank.

Jangka Waktu
Jangka waktu yang digunakan dalam kontrak mudharabah umumnya ditetapkan oleh bank Islam, karena kontrak mudharabah juga umumnya digunakan untuk tujuan dagang jangka pendek. Kontrak mudharabah dalam bank Islam hendaknya mengklirkan (liquidated) dan modal bank beserta keuntungannya diserahkan pada waktu yang telah ditentukan dalam kontrak, karena ada batas laba dari dana bank dihitung dengan mempertimbangkan jatuh tempo kontrak.
Dari sudut pandang bank, sedikit saja penguluran dari waktu yang telah ditetapkan akan menempatkan bank dalam risiko, karena hal ini tidak akan memungkinkan dengan bank untuk mengubah rasio keuntungan yang sejak awal telah disepakati.

20 JIB, Contract of Mudharabah; IIBD, Contract of Mudharabah.
Karena rasio keuntungan masih tetap konstan selama jangka waktu mudharabah, suatu penguluran dapat berarti pengurangan keuntungan atas modal yang diberikan. Beberapa bank Islam bahkan melangkah lebih jauh lagi dengan mengusulkan bahwa jika mudharib tidak dapat sepenuhnya memanfaatkan dana selama jangka waktu yang telah ditentukan, maka ia harus memberikan ganti rugi kepada bank. IIBD (International Islamic Bank for Investment and Development)21 misalnya, menyataka : “Kontrak secara otomatis akan dibatalkan pada saat jatuh tempo. Mudharib harus mengembalikan dana mudharabah kepada investor dengan sedikit konpensasi atas penyimpanan dana selama waktu kontrak tanpa membuatnya produktif”.
Jaminan
Meskipun dalam fiqih tidak diperbolehkan investor untuk menuntut jaminan dari mudharib, bank-bank Islam umumnya benar-benar meminta beragam bentuk jaminan. Hal ini mereka lakukan untuk memastikan bahwa modal yang disalurkan dan keuntungan yang diharapkan dari modal ini diberikan kepada bank pada saat yang ditetapkan dalam kontrak. Jaminan dapat diberikan dari mudharib sendiri maupun dari pihak ketiga. Jaminan yang diminta oleh bankbank Islam tersebut tidak dibuat untuk memastikan kembalinya modal, tetapi untuk memastikan bahwa kinerja mudharib sesuai dengan syarat-syarat kontrak22.
Salah satu klausul dalam kontrak mudharabah pada Faisal Islamic Bank of Egypt adalah “Jika terbukti bahwa mudharib menyalahgunakan atau tidak sungguh-sungguh dalam melindungi barang-barang atau dana-dana, atau bertindak bertentangan dengan syarat-syarat investor, maka mudharib harus menanggung kerugian, dan harus memberikan jaminan sebagai pengganti kerugian semacam ini”. Dalam kejadian yang maudharib bertanggung jawab atas kerugian seperti ini, penjamin diharuskan untuk memberikan ganti rugi kepada bank. Jika yang diberikan oleh penjamin belum mencukupi, maka mudharib harus memberikan jaminan tambahan dalam jangka waktu tertentu.
Disampig jaminan tersebut, mudharib diharuskan untuk menyerahkan laporan-laporan perkembangan berkala tentang kinerja umum mudharabah maupun tentang arus kas. Ia juga diwajibkan untuk selalu melakukan pencatatan atas keuangan yang terkait dengan kontrak, dan mengizinkan perwakilan bank untuk memeriksa catatan tersebut dan mengeditnya dan untuk menginvestarisasi di toko dan gudangnya kapanpun tanpa boleh ada keberatan darinya. Jika terjadi keterlambatan dalam menyerahkan pernyataan neraca atau laporan perkembangan berkala, maka akan berakibat pada pengurangan bagian laba mudharib sebanding dengan jangka waktu keterlambatannya.


21 IIBD, Contract of Mudharabah.
22 FIBS, Bank Faisal al-Islami al-Sudani.

Bank mempunyai wewenang untuk mengambil alih manajemen proyek tersebut jika mudharib tidak dapat mencapai arus kas yang diproyeksikan atau pendapatan yang dibagikan. Bank juga dapat menuntut pembekuan mudharabah jika dilihat oleh bank bahwa tidak ada untungnya melanjutkan kontrak atau jika mudharib telah melanggar kalusul kontrak. Hal ini dapat dilakukan tanpa terlebih dahulu ada peringatan atau proses hukum.



Pembagian Laba dan Rugi
Dalam pembagian laba dan rugi, secara teori, bank menanggung secara risiko, tetapi dalam praktik, dikarenakan sifat mudharabah bank Islam dan syarat-syarat yang ada di dalamnya, kerugian semacam ini mungkin akan jarang sekali terjadi.
Bank Islam sepakat dengan nasabah mudharabahnya tentang rasio laba yang ditetapkan dalam kontrak. Rasio akan tergantung antara lain pada daya tawar si nasabah, prakiraan laba, suku bunga pasar, karakter pribadi nasabah dan daya jual barang, maupun jangka waktu kontrak.

Jika mudharabah tidak menghasilkan suatu keuntungan, si mudharib tidak akan mendapatkan sedikitpun upah atas kerjanya. Dalam hal ini mengalami kerugian sepanjang tidak ditemukan bukti salah guna dan salah urus mudharib atas dana mudharabah atau sepanjang tidak ditentukan pelanggaran atas syarat-syarat yang ditetapkan oleh bank. Jika terbukti demikian, maka mudharib sendiri yang akan menanggung kerugian, dalam kasus mana jaminan yang terkait dengan tanggung jawab nasabah harus diberikan kepada bank.

Pihak bank untuk mengambil alih dalam risiko dari setiap kerugian tidak begitu saja terjadi. Ia melewati bermacam-macam cara untuk menghilangkan ketidakpastian yang mungkin terjadi dalam kongsi mudharabah murni. Risiko aktuarial dalam kongsi mudharabah seperti yang digunakan dalam perbankan Islam dapat diukur dan dapat dipastikan. Untuk alasan inilah, dapat dikatakan bahwa mudharabah bank Islam sedikit berbeda dengan penyelenggaraan investasi berisiko rendah maupun investasi bebas risiko manapun.

Dasar Perhitungan & Kesepakatan Penyerahan Bagi Hasil
1. Proyeksi Total Pendapatan Usaha : Rp ...................... per Hari / Minggu / Bulan
2. Proyeksi Total Pengeluaran & Biaya Usaha : Rp ...................... per Hari / Minggu / Bulan
3. Proyeksi Sisa Awal Hasil Usaha ( 1 – 2 ) : Rp ...................... per Hari / Minggu / Bulan
4. Penyisihan Cadangan Modal Usaha : Rp ...................... per Hari / Minggu / Bulan
5. Pengembalian Pokok / Modal : Rp ...................... per Hari / Minggu / Bulan
6. Proyeksi Sisa Akhir Hasil Usaha ( 3 – 4 – 5 ) : Rp ...................... per Hari / Minggu / Bulan
7. Proyeksi Kesepakatan Bagi Hasil : Rp ...................... per Hari / Minggu / Bulan
8. Proyeksi Sisa Hasil Usaha Nasabah (6 – 7 ) : Rp ...................... per Hari / Minggu / Bulan
9. Nisbah Bagi Hasil Bank : ............ % (7/6 x 100%)
10. Nisbah Bagi Hasil Nasabah : ............ % (8/6 x 100%)


4. TINJAUAN SYARIAH PRODUK DEPOSITO MUDHARABAH
Sebelum kita mencoba menganalisa posisi perbankan islam dalam menjalankan salah satu produknya yaitu mudharabah, alangkah baiknya kita pahami terlebih dahulu pengertian tentang bank.

Secara bahasa bank adalah lembaga yang bergerak dibidang penjaminan, pengumpulan dana dan pemberi pinjaman.

Atau lembaga khusus yang bergerak dalam memberikan pinjaman dana.
Menurut prof. DR. Ali Salus, “bank memiliki dua peran; sebagai pedagang utang dan penjamin. Menerima utang dari investor dan meminjamkannya kepada nasabah. Pihak bank memberikan nominal tertentu kepada investor dari nilai yang dititipkan dan selanjutnya pihak bank meminta nominal lebih kepada nasabah yang telah diberi pinjaman bank.

Dari pengertian diatas dapat dipahami bahwa apa yang dilakukan oleh perbankan, system yang diterapkannya adalah riba. Sedangkan riba dalam syariat islam dan dalam ajaran-ajaran agama lain tidak bisa diterima. Oleh karenanya, perlu kita pahami juga kinerja dari perbankan islam itu seperti apa sehingga bisa kita bedakan antara bank konvensional dan bank islami.

Menurut salabah oman,“bank islami adalah lembaga yang bergerak sebagai perantara keuangan tanpa adanya bunga (interest).”

Dari pengertian kedua system bank yang ada di atas, bisa kita ketahui perbedaan kinerja yang ada. Yang satu menggunakan system bunga dan yang lainnya menerapkan system non bunga.

Jadi, peran dari bank islami itu apa? Apakah sebagai pedagang langsung (mudlarib) ataukah sebagai perantara keuangan?
Kalau kita lihat permasalah yang ada dari kacamata islami, kita bisa dapati bahwa hukum-hukum syariah baik yang berkaitan dengan masalah ibadah maupun muamalah, tidak ada hal yang mengkhususkan bahwa ibadah dan muamalah ini hanya untuk pedagang saja atau untuk perantara saja dan seterusnya. Akan tetapi, seluruh ajaran yang ada itu hanya tergantung pada kemampuan seseorang untuk menerima dan melaksanakan syariat islam dengan syarat yang harus dipenuhi. Yaitu islam, berakal baligh dll.
Untuk bisa menghukumi apakah yang dilakukan oleh perbankan itu boleh atau tidak, maka harus dilihat kinerjanya. Apakah terlepas dari hal-hal yang diharamkan ataukah tidak.
Diantara produk yang dijalankan oleh perbankan islami adalah mudharabah.

Hakekat mudharabah yang dipraktekkan oleh perbankan islami adalah sebagai berikut; bank menerima sejumlah uang dari investor kemudian oleh pihak bank, uang tersebut diinvestasikan atau diberikan kepada orang lain supaya dikelola.

Kami berpandangan bahwa posisi perbankan disini dia sebagai pengelola tapi tidak secara langsung karena uang yang diterima oleh bank diberikan lagi kepada orang lain untuk dikelola juga. Menurut kami, pihak perbankan bukanlah sebagai mudharib tapi sebagai perantara antara investor dengan pengelola. Jadi, tidak tepat kalau pihak perbankan disebut sebagai mudharib.
Kecuali kalau perbankan dalam mengelola uang yang telah diterima dari investor, digunakan dan dikelola sendiri dalam bisnis riil.

Jadi, perbankan bisa jadi sebagai pihak intermediate dan juga sebagai pedagang sesuai dengan karakter yang dijalankan.

5. KESIMPULAN
Dari perbandingan SE Konvensional dengan SE Islam terlihat bahwa SE Konvensional bukanlah sistem ekonomi ideal yang mampu mewujudkan kesejahteraan bagi umat manusia. SE Islam memiliki keunggulan yang secara konseptual dapat mengatasi kesenjangan sosial dan mencegah terjadinya krisis ekonomi yang selalu berulang. Hal ini akan membawa kesejahteraan bagi masyarakat yang pada akhirnya mendorong kemajuan peradaban manusia.

Semoga Allah SWT memberikan petunjuk, bimbingan dan kekuatan bagi kita semua untuk menegakan Sistem Ekonomi Islam di muka bumi. Amiin.

الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعالَمِينَ
Ditulis oleh : 1. Hamid surya, 2. Hanafi, 3. Muhammad Anshori

Minggu, 08 November 2009

Membangun Ekonomi Mikro Berbasis Masjid

Saat ini, cukup banyak lembaga keuangan mikro syariah atau Baitulmal Wattamwil (BMT) yang sengaja berkantor di dekat pasar. Alasannya, karena pasar merupakan tempat sejumlah pedagang mengadu untung meraih rupiah dengan berjuala dari pagi hingga petang hari. Hingga kini, mereka merupakan salah satu konsumen utama penyerap pembiayaan BMT. Namun, pasar bukan satu-satunya lokasi strategis. Karena ada juga BMT yang menjadikan masjid sebagai pusat operasi.

Bagi BMT Usaha Mulya, menjalankan operasi bisnis keuangan mikro syariah di Masjid Pondok Indah adalah satu pilihan bisnis yang penting dijalankan. Hal itu karena pengembangan usaha masyarakat ekonomi menengah kecil dan ibadah merupakan dua hal yang berjalan beriringan.

Salah satu alasan pengurus BMT Usaha Mulya memilih majid karena diharapkan bisa mendorong pengembangan usaha keuangan mikro syariah sekaligus meningkatkan kualitas keimanan baik bagi BMT maupun nasabahnya. ‘’Kami ingin masjid tidak hanya sebagai pusat ibadah saja, tapi juga menjadi pusat pengembangan masyarakat,’’ kata Kabid Usaha BMT Usaha Mulya, Faisal Qosim, beberapa waktu lalu.

Faisal menuturkan, BMT Usaha Mulya pertama kali didirikan pada Agustus 2002. Pendirian dilakukan oleh Yayasan Pondok Mulya yang bergerak pada pengembangan sektor pendidikan, kemasjidan, dan usaha. Saat itu, modal awal yang digunakan BMT untuk memulai operasi bisnis keuangan mikro syariahnya tercatat sebesar Rp 200 juta.

Modal awal itu, digunakan sebagai dana pembiayaan bagi penguatan permodalan usaha kecil dan mikro masyarakat. Selain itu, dana tersebut juga digunakan untuk membiayai kegiatan operasional harian BMT. Menurut Faisal, alasan utama pendirian BMT Usaha Mulya adalah untuk membantu pengembangan perekonomian masyarakat usaha kecil dan mikro. Hingga kini, cukup banyak masyarakat Indonesia yang mencari nafkah melalui usaha jenis kecil dan mikro. Namun, banyak dari mereka yang tidak memiliki akses penguatan permodalan ke sektor perbankan.

Karena itulah, BMT hadir untuk membantu pengembangan usaha mereka. ‘’Melalui BMT, kami ingin membantu pengembangan usaha masyarakat menengah ke bawah,’’ ujarnya. Menurutnya, sebelum BMT ini didirikan, masyarakat usaha menengah ke atas sebetulnya sudah ingin memiliki akses kepada layanan perbankan berbasis syariah. Namun, saat itu, layanan keuangan mikro syariah belum banyak hadir. Padahal, mereka juga berhak mengakses layanan keuangan syariah. ‘’Karena itu, bisa dibilang, kami hadir untuk grass root, melayani masyarakat ekonomi menengah ke bawah,’’ katanya.

BMT Usaha Mulya sendiri merupakan lembaha yang berbadan hukum koperasi. Hingga Mei lalu, BMT Usaha Mulya telah menyalurkan pembiayaan hampir Rp 3 miliar. Dana itu disalurkan bagi ribuan nasabah dengan nilai pembiayaan masing-masing paling kecil sebesar Rp 500 ribu, dan paling besar Rp 50 juta. Namun rata-rata rata-rata pembiayaan per nasabah berkisar Rp 2 juta.

Faisal menyebutkan, nasabah pembiayaan BMT berasal dari berbagai profesi. Tapi, mereka umumnya merupakan pelaku usaha kecil dan mikro. Di antaranya adah pedagang sayur mayur di pasar dan pengusaha toko kelontong. Selain itu, ada juga pengusaha industri kerajinan kayu rumahan yang juga menjadi nasabah BMT.

Selain di Masjid Pondok Indah, Yayasan Pondok Mulya juga mengelola beberapa masjid lainnya di wilayah Jadebotabek. Di antaranya adalah Masjid Akbar Kemayoran, Masjid Al Huriyah Puri Kembangan, dan Masjid Al Furqon Bekasi.

Rencananya, usaha BMT juga akan dikembangkan di beberapa masjid tersebut. Tujuannya adalah agar layanan keuangan mikro syariah dapat diakses oleh banyak masyarakat di Jadebotabek. Dengan demikian, masjid tidak hanya menjadi solusi keimanan, tapi juga solusi bagi perekonomian masyarakat. (fkr/rol)

Sabtu, 07 November 2009

Indonesia-Mesir Kembangkan Ekonomi Mikro Berbasis Syariah

Indonesia menggandeng Mesir melalui Salih Kamil Center for Islamic Economics (SKCIE), Universitas Al-Azhar, bekerja sama mengembangkan ekonomi mikro berbasis syariah.

"Kita akan membangun sinergi, saling berbagi hal-hal yang baik tentang ekonomi mikro syariah," kata Deputi Pengembangan SDM Kementerian Negara Koperasi dan UKM, Neddy di Jakarta, Kamis.

Ia mengatakan, Indonesia pada dasarnya memiliki basis ekonomi syariah yang baik dan bahkan menjadi proyek percontohan bagi negara-negara lain di dunia. Sedangkan Mesir sendiri merupakan negara yang mendasarkan perekonomiannya pada sistem syariah sejak lama.

"Ada dua kultur yang berdeda antara masyarakat Mesir dengan Indonesia, salah satu contohnya mereka sangat `strike` soal hitung-hitungan bagi hasil," katanya. Oleh karena itu, hasil kajian dan konsultasi dengan delegasi Mesir, bagi pihaknya akan dijadikan referensi bagi kemajuan ekonomi mikro di tanah air.

Belum lama ini, ekonom syariah dari SKCIE Mesir menyatakan kesediaannya untuk menjadi konsultan keuangan dan ekonomi syariah bagi koperasi dan UKM di Indonesia. Para ekonom itu juga akan melatih tenaga pengajar bidang koperasi jasa keuangan syariah di tanah air.

Sebelumnya Kementerian Negara Koperasi dan UKM telah menjalin nota kesepahaman (MoU) dengan SKCIE pada 2004 silam. Pihaknya pada pertengahan Agustus 2009 lalu berkunjung ke Mesir untuk menindaklanjuti MoU serta memperpanjang kerja sama hingga satu tahun ke depan.

"Kedua belah pihak sepakat membentuk tim kecil untuk lebih menjabarkan MoU ke depan dalam program-program yang lebih operasional," katanya. Oleh karena itu, pihaknya menilai perlu dibuat rencana tindak lanjut atau agenda kerja dari kedua belah pihak.

Neddy menilai SKCIE memiliki teori-teori terkait ekonomi syariah yang sangat maju dari hasil penelitian intensif yang mereka lakukan. Sementara Indonesia sendiri dalam prakteknya lebih berkembang dari sisi kualitas dan kuantitas untuk bank maupun non-bank dalam hal ini koperasi.

Pada 9-12 Agustus 2009, Kementerian Negara Koperasi dan UKM mengirimkan delegasinya ke Mesir. Beberapa pemangku kepentingan yang turut hadir atas inisiatif dan pembiayaan sendiri adalah Bank Indonesia, perbankan syariah, dan pelaku koperasi.

Dalam kegiatan itu dilakukan beberapa agenda di antaranya studi perbandingan, diskusi antar-negara, dan kunjungan ke UKM center, dan meninjau produk mudharabah di Mesir. (ant).

Jumat, 06 November 2009

BMT Harus Diawasi

JAKARTA -- Lembaga keuangan mikro syariah seperti Baitul Maal wat Tamwil (BMT) di Indonesia kini semakin menjamur. Walau cakupannya tak sebesar bank syariah, namun terdapat sejumlah BMT yang telah beraset lebih dari Rp 100 miliar. Menurut Sekretaris Jenderal Ikatan Ahli Ekonomi Islam, Agustianto, diperlukan pengawasan bagi BMT yang telah beraset besar.

Ia menambahkan, BMT yang juga terkait dengan dana masyarakat ini hendaknya menjadi perhatian penggiat ekonomi syariah dan pemerintah. ''Dari segi aturan keuangan seperti rasio kecukupan modal harus ada lembaga pemerintah yang mengatur itu karena ada aset BMT yang bahkan telah melebihi BPRS,'' kata Agustianto kepada Republika, beberapa waktu lalu.

BPRS saja, lanjut dia, memiliki regulasi yang harus diikuti dari Bank Indonesia tentang aturan kesehatan bank, permodalan, batas maksimal pemberian kredit, dan rasio kecukupan modal. Menurutnya, aturan-aturan tersebut juga harus diterapkan di BMT dengan tujuan untuk kemaslahatan masyarakat sehingga dana dapat lebih terjamin.

''Tidak tertutup kemungkinan suatu saat dana yang terkumpul bisa disalahgunakan dan akibatnya masyarakat banyak bisa jadi korban dan menderita kerugian karena itu Kementerian Negara Koperasi dan UKM harus lebih mengoptimalkan regulasi dan pengawasan kepada BMT dan juga syarat-syarat perizinan dan aturan yang terkait dengan kesehatan lembaga keuangan,'' papar Agustianto.

Ia mengakui, selama ini memang sudah ada regulasi yang mengatur itu. Namun hal tersebut baru berupa konsep atau syarat dari lembaga yang menginkubasinya, seperti BMT Center maupun Pusat Inkubasi Bisnis dan Usaha Kecil (Pinbuk), bukan berasal dari pemerintah yang memiliki sifat mengikat dan punya sanksi hukum jika dilanggar.

Peraturan tersebut, tambahnya, bisa saja dalam bentuk peraturan menteri koperasi. ''Kalau modal BMT kecil dan dana masyarakat banyak, itu bisa berbahaya. Jangan sampai terjadi hal negatif di masa depan karenanya untuk menjaga itu perlu dibuat peraturan,'' tegas Agustianto. ed. yeyen


’Fokus pada Pemantauan Kecukupan Modal BMT

Praktisi Baitul Maal wat Tamwil (BMT) menaruh perhatian pada hal-hal seputar modal. Salah satu poin penting adalah pemantauan kecukupan modal BMT. Salah satunya adalah General Manager BMT Bina Ummat Sejahtera (BUS), Ahmad Zuhri, yang menyatakan mendukung pemantauan terhadap kecukupan modal bagi BMT.

''Untuk ke depannya memang perlu ada pemantauan modal dan regulasi yang jelas mengenai hal itu,'' aku Zuhri kepada Republika, beberapa waktu lalu. BMT BUS sendiri, tambahnya, terus berusaha meningkatkan permodalannya dengan mewajibkan simpanan penyertaan kepada pengelola dan karyawan BMT. Hal itulah yang menjadi penguatan modal BMT. Seiring dengan aset yang terus bertambah mencapai Rp 145 miliar, jumlah modal pun turut bertambah.

Pada setiap bulan, setidaknya ada tambahan antara Rp 500 juta-Rp 1 miliar dari simpanan penyertaan. Tercatat BMT BUS memiliki modal antara Rp 14 miliar-Rp 15 miliar. Sebelumnya BMT hanya mengandalkan dana simpanan masyarakat, tetapi simpanan penyertaan yang diikutsertakan sebagai modal, menjadi penguatan fondasi BMT BUS. Zuhri menambahkan, dengan menjadi anggota lembaga maupun asosiasi seperti Inkopsyah, Pinbuk, Absindo, hal itu mendorong pihaknya untuk menjaga tingkat kesehatan BMT.

BMT BUS juga melakukan pencadangan likuiditas di masa-masa tertentu ketika sering terjadi penarikan dana, seperti menjelang Lebaran dan tahun ajaran baru. Berdasar data per 28 Oktober, BMT BUS memiliki aset Rp 145 miliar, pembiayaan Rp 94 miliar dan simpanan Rp 83 miliar. yogie/ed.yeyen(sumber Republika.co.id)

Minggu, 25 Oktober 2009

Batasan Tingkat Keuntungan dalam Syariah

Mencari keuntungan dalam bisnis pada prinsipnya merupakan suatu perkara yang jaiz (boleh) dan dibenarkan syara’, bahkan secara khusus diperintahkan Allah kepada orang-orang yang mendapatkan amanah harta milik orang-orang yang tidak bisa bisnis dengan baik, misalnya anak-anak yatim (lihat QS. An-Nisa’:29, Al-Baqarah: 194, 275, 282, An-Nur:37, Al-Jum’ah:10, Al-Muzzammil:20, Quraisy:1-3)

Dan, tak ada satu nash pun yang membatasi margin keuntungan, misalnya 25 %, 50%, 100% atau lebih dari modal. Bila kita jumpai pembatasan jumlah keuntungan yang dibolehkan maka pada umumnya tidak memiliki landasan hukum yang kuat.

Tingkat laba/keuntungan atau profit margin berapa pun besarnya selama tidak mengandung unsur-unsur keharaman dan kezhaliman dalam praktek pencapaiannya, maka hal itu dibenarkan syariah sekalipun mencapai margin 100 % dari modal bahkan beberapa kali lipat. Hal itu berdasarkan dalil berikut:

Ada beberapa hadits Rasulullah saw menunjukkan bolehnya mengambil laba hingga 100% dari modal. Misalnya hadits yang terdapat pada riwayat Imam Ahmad dalam Musnadnya (IV/376), Bukhari (Fathul Bari VI/632), Abu Dawud (no. 3384), Tirmidzi (no.1258), dan Ibnu Majah (no.2402) dari penuturan Urwah Ibnul Ja’d al-Bariqi ra.

Sahabat Urwah diberi uang satu dinar oleh Rasulullah saw untuk membeli seekor kambing. Kemudian ia membeli dua ekor kambing dengan harga satu dinar. Ketika ia menuntun kedua ekor kambing itu, tiba-tiba seorang lelaki menghampirinya dan menawar kambing tersebut. Maka ia menjual seekor dengan harga satu dinar. Kemudian ia menghadap Rasulullah dengan membawa satu dinar uang dan satu ekor kambing. Beliau lalu meminta penjelasan dan ia ceritakan kejadiannya maka beliau pun berdoa: “Ya Allah berkatilah Urwah dalam bisnisnya.”

Dan meraih keuntungan lebih dari yang diambil Urwah pun diperkenankan asalkan bebas dari praktik penipuan, penimbunan, kecurangan, kezhaliman, contoh kasusnya pernah dilakukan oleh Zubeir bin ‘Awwam salah seorang dari sepuluh sahabat Nabi yang dijamin masuk surga. Ia pernah membeli sebidang tanah di daerah ‘Awali Madinah dengan harga 170.000 kemudian dijualnya dengan harga 1.600.000. ini artinya sembilan kali lipat dari harga belinya (Shahih al-Bukhari, nomor hadits 3129).

Namun begitu, Imam Al-Ghozali dalam Ihya’ Ulumuddin-nya (II/72) menganjurkan perilaku ihsan dalam berbisnis sebagai sumber keberkahan yakni mengambil keuntungan rasional yang lazim berlaku pada bisnis tersebut di tempat itu. Beliau juga menegaskan bahwa siapa pun yang qana’ah (puas) dengan kadar keuntungan yang sedikit maka niscaya akan meningkat volume penjualannya. Selain itu dengan meningkatnya volume penjualan dengan frekuensi yang berulang-ulang (sering) maka justru akan mendapatkan margin keuntungan banyak, dan akan menimbulkan berkah.

Pantas kalau Ali ra. pernah berkeliling menginspeksi pasar Kufah dengan membawa tongkat pemukul seraya berkata, “Wahai segenap pedagang, ambillah yang benar, niscaya kamu selamat. Jangan kamu tolak keuntungan yang sedikit, karena dengan menolaknya kamu akan terhalang untuk mendapatkan yang banyak.”

Abdurrahman bin Auf pernah ditanya orang, “apakah yang menyebabkan engkau kaya?” Dia menjawab, “karena tiga perkara: aku tidak pernah menolak keuntungan sama sekali. Tiada orang yang memesan binatang kepadaku, lalu aku lambatkan menjualnya, dan aku tidak pernah menjual dengan sistem kredit berbunga.” Contoh kasusnya, Abdurrahman bin Auf pernah menjual 1000 ekor unta, tetapi ia tidak mengambil keuntungan melainkan hanya dari tali kendalinya. Lalu dijualnya setiap helai tali itu dengan harga 1 dirham, dengan demikian ia mendapatkan keuntungan 1000 dirham. Dan dari penjualan itu ia mendapatkan keuntungan 1000 dirham dalam sehari.

Itulah cermin orang mempraktekkan sabda Rasulullah saw bersabda: “Semoga Allah merahmati orang yang toleran (gampang) ketika menjual, toleran ketika membeli, toleran ketika menunaikan kewajiban dan toleran ketika menuntut hak.” (HR. Bukhari dari Jabir).

Adapun keuntungan yang diharamkan Islam adalah keuntungan yang mengandung unsur dan praktik bisnis haram di antaranya sebagai berikut:

1. Keuntungan dari Bisnis Barang dan Jasa Haram.

Yang tergolong bisnis haram adalah seperti bisnis minuman keras, narkoba (NAZA), jasa kemaksiatan, perjudian, rentenir dan praktik riba, makanan dan minuman merusak, benda-benda yang membahayakan rohani dan jasmani. Di antara hadits yang melarang melakukan bisnis barang dan jasa haram serta memanfaatkan hasil keuntungannya adalah hadits riwayat Jabir ra, Nabi SAW. Bersabda: “Sesungguhnya Allah mengharamkan jual beli minuman keras, bangkai, babi, dan patung”. (HR. Jama’ah, lihat al-Albani dalam Irwa’ Gholil, 1290). Dalam riwayat Ibnu Abbas, Nabi saw. bersabda: “Allah melaknat kaum Yahudi. Diharamkan lemak atas mereka, kemudian mereka menjualnya dan memakan harganya (hasil penjualannya). Sesungguhnya bila Allah mengharamkan kepada suatu kaum memakan sesuatu, maka diharamkan-Nya pula harganya.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud, lihat al-Albani dalam Shahih al-Jami’ ash-Shaghir, 5107) Ibnu Taimiyah berkata, “Hadits ini sebagai hujjah (dalil) pengharaman jual beli minyak najis.”

Diriwayatkan juga dari Ibnu Abbas. Ra, ia berkata: “Nabi saw, melarang harga (jual beli) anjing seraya bersabda:”Jika seseorang datang kepadamu meminta pembayaran harga anjing, maka penuhilah telapak tangannya dengan tanah.” (HR. Ahmad dan Abu Daud).

Diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa Nabi saw, bersabda: “Allah melaknat khamar (minuman keras), peminumnya, penuangnya, penjualnya, pembelinya, pembuatnya, pemesan produknya, pembawanya, orang yang dibawakan khamar kepadanya dan pemakan keuntungannya.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah, Lihat, al-Majd Ibnu Taimiyah dalam al-Muntaqa, II/321)

2. Keuntungan dari Jalan Curang dan Manipulasi.

Nabi saw. bersabda: “Barangsiapa mencurangi kami maka bukanlah dari golongan kami.” (HR. al-Jama’ah kecuali Bukhari dan Nasa’i) “Orang muslim itu adalah saudara orang muslim lainnya; tidak halal bagi seorang muslim menjual kepada saudaranya sesuatu yang ada cacatnya melainkan harus dijelaskannya kepadanya.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah).

3. Manipulasi dengan cara Merahasiakan Harga Aktual.

Rasulullah saw. telah melarang Talaqqi Rukban yakni menghadang kafilah dagang di tengah jalan dan membeli barang-barangnya dengan berbohong mengenai harga aktual dan beliau juga melarang permainan bisnis Najasy (Insider Trading) yakni cara bisnis menaikkan penawaran harga dengan permainan orang dalam. (Pelarangan itu terdapat pada riwayat hadits Muttafaq ‘Alaih dari Abu Hurairah, Lihat al-Ghozali dalam Ihya’ II/72)

4. Keuntungan dengan Cara Menimbun dan Usaha Spekulatif.

Nabi saw. bersabda: “Tidaklah menimbun kecuali orang yang berbuat dosa.” (HR. Muslim) “Barangsiapa yang menimbun bahan makanan selama empat puluh hari maka sungguh ia berlepas dari Allah dan Allah berlepas darinya.” (HR. Ahmad dan Hakim). Sedangkan yang dimaksud dengan praktik menimbun (ihtikar) di sini ialah menahan barang-barang dagangan karena spekulasi untuk menaikkan harga yang membahayakan kepentingan umum. Praktik seperti ini merupakan sistem kapitalisme yang bertumpu pada dua pilar pokok; riba dan penimbunan (monopoli).

Dari uraian di atas jelas bahwa diperbolehkan bagi siapa pun untuk mencari keuntungan tanpa ada batasan margin keuntungan tertentu selama mematuhi hukum-hukum Islam. Serta menentukan standar harga sesuai dengan kondisi pasar yang sehat. Namun bila terjadi penyimpangan dan kesewenang-wenangan harga dengan merugikan pihak konsumen, tidak ada halangan bagi pihak penguasa, sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya, untuk membatasi keuntungan pedagang atau mematok harga Tindakan ini dilakukan harus melalui konsultasi dan musyawarah dengan pihak-pihak terkait agar tidak ada yang dilangkahi maupun dirugikan hak-haknya.

Di Madinah pernah terjadi kasus monopoli dan spekulasi bahan pokok yang menjadi hajat umum masyarakat oleh para pemilik unta. Ibnu Umar meriwayatkan bahwa Nabi saw sebagai penguasa, akhirnya melarang masyarakat membelinya dari mereka sampai bahan pangan itu dijual bebas di pasaran. (HR. Bukhari)

Tapi pada kondisi terjadi kenaikan harga secara objektif, wajar dan legal yang lazim disebut kenaikan harga aktual riil yang sebenarnya yang diakibatkan di antaranya oleh faktor bertambahnya persediaan uang, berkurangnya produktivitas, bertambahnya kemajuan aktivitas, dan berbagai pertimbangan fiskal dan moneter, pemerintah tidak berhak untuk mencampuri mekanisme pasar yang alamiyah tersebut. Pertimbangan inilah yang mendasari sikap Nabi saw sebagai penguasa menolak untuk mematok harga ketika terjadi lonjakan harga di pasar Madinah seraya mengatakan: “Sesungguhnya Allah adalah Penentu harga, yang menahan dan meluaskan rezki, yang Maha Pemberi rezki. Dan saya sangat mengharapkan dapat berjumpa Rabbku, sementara tidak ada seorang pun dari kalian yang menuntutku karena suatu tindakan aniaya pada fisik dan harta” (HR. At-Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad dan Ad-Darimi). Wallahu a’lam. [Oleh: Dr. Setiawan Budi Utomo]

Subscribe to bisnis_syariah

Powered by us.groups.yahoo.com

Mau Klik Iklan diBayar Rupiah???