Rabu, 08 April 2009

Hukum Wakaf Dengan Uang Tunai

Wacana pemberdayaan ekonomi umat melalui sertifikasi wakaf dengan uang tunai yang lazim dikenal Sertifikat Wakaf Tunai (Cash Waqf Certificate) tidak terlepas dari pendekatan konseptual, sistematika dan metodologinya. Prof. Volker Nienhaus, peneliti senior non muslim dan ahli ekonomi Islam dari Universitas Bochum Jerman dalam artikelnya berjudul Islamic Economics: Policy between Pragmatism and Utopia (1982) mengungkapkan empat formula pendekatan kajian ekonomi Islam: pragmatis, resitatif, utopian, dan adaptif.

Menurutnya, dari keempat pendekatan itu, yang paling banyak dipakai adalah pendekatan resitatif. Berasal dari kata kerja recitation (pembacaan, imlak, hafalan dan pengajian), adalah pendekatan mengacu pada teks ajaran Islam Secara khusus, pendekatan ini di antaranya mengacu pada hukum Fiqih Mu’amalah kalangan fuqaha yang disebutnya the orthodox jurist. Termasuk kategori pendekatan ini, kajian yang berorientasi teologis dan analisis moral yang pada perkembangan selanjutnya melahirkan formula etika ekonomi seperti yang ditulis oleh Dr. Yusuf Al-Qardhawi dalam Daurul Qiyam wal Akhlaq fi al-Iqtishad al-Islami (1995). Dalam litaratur klasik pendekatan teologi akhlak tersebut dikenal dengan Adab Al-Kasb wal Ma’asy seperti dikenalkan Imam Al-Ghozali (w.505H) dalam Ihya’ Ulumuddinnya.

Wakaf memasuki wilayah sistem ekonomi dapat dipahami bila disertai kajian kritis mengenai paradigma ekonomi yang kesejatiannya membawa kepada kemaslahatan (kesejahteraan sosial). Paradigma ekonomi yang berlaku selama dua abad, bukan saja menunjukkan kerapuhan dasar teoritisnya itu sendiri, bahkan asumsi-asumsi yang mendasarinya dan kemampuannya untuk memprediksi perilaku di masa datang. Itulah yang diungkap Dr. Khurshid Ahmad ketika memberi pengantar buku terbaru Chapra The Future of Economics; An Islamic Perspective (2000). Diskusi tidak lagi terbatas pada perubahan-perubahan di dalam paradigma; perdebatan mengarah kepada kebutuhan akan adanya perubahan paradigma itu sendiri. Tantangan ini, tulis Amitai Etzioni dalam The Moral Dimension; Towards a New Economics (1988) adalah paradigma utilitarian, rasionalistik, individualistik, neo-klasik yang diterapkan bukan saja pada perekonomian, bahkan meningkat pada berbagai aturan hubungan sosial.

Senada dengan pandangan itu, Critovan Buarque, ekonom dari Universitas Brasil dalam bukunya The End of Economics: Ethics and the Disorder of Progress (1993), melontarkan sebuah gugatan terhadap paradigma ekonomi modern yang mengabaikan nilai-nilai sosial dan etika. Hal tersebut menimbulkan efek negatif dalam bentuk yang disebut Fukuyama “kekacauan dahsyat” dalam bukunya yang paling anyar, The End of Order (1997) berkaitan dengan runtuhnya solidaritas keluarga dan sosial. Oleh karena itu, wakaf menjadi jawaban tepat atas kekisruhan paradigma ekonomi tersebut. Karena, wakaf membuktikan fenomena semangat solidaritas sosial.

Wakaf tidak akan valid sebagai amal jariyah kecuali setelah benar-benar pemiliknya menyatakan aset yang diwakafkannya menjadi aset publik dan ia bekukan haknya untuk kemaslahatan umat. Dan wakaf tidak akan bernilai amal jariyah (amal yang senantiasa mengalir pahala dan manfaatnya) sampai benar-benar didayagunakan secara produktif sehingga berkembang atau bermanfaat tanpa menggerus habis aset pokok wakaf.

Menurut A.Mannan (1998), unsur esensial wakaf berupa keputusan penahanan diri dari menggunakan asset miliknya yang telah diwakafkan (refraining) yang disertai penyerahannya kepada kemasalahaatan publik menyiratkan tujuan pemanfaatannya secara optimal untuk kesejahteraan masyarakat luas secara permanen dan kontinyu sebagaimana doktrin amal jariah. Oleh karena itu, sangat relevan, terlepas dari perdebatan fiqih, bolehnya wakaf dengan dana tunai (cash) dan bukan harta tetap. Bahwa, gagasan sertifikat wakaf tunai dengan pola sertifikasi sebagai bukti ‘share holder’ proyek wakaf guna pengawasan dan wasiat pemanfaatan dari hasil (return) investasi dan pengelolaannya secara produktif.

Substansi wacana wakaf tunai sebenarnya telah lama muncul. Bahkan, dalam kajian fiqih klasik sekalipun seiring dengan munculnya ide revitalisasi fiqih mu’amalah dalam perspektif maqashid syariah (filosofi dan tujuan syariah) yang dalam pandangan Umar Chapra (1992) bermuara pada Al-Mashalih Al-Mursalah (kemashlahatan universal) termasuk upaya mewujudkan kesejahteraan sosial melalui keadilan distribusi pendapatan dan kekayaan.

Dalam konteks ini, melalui pembahasan awal di Dewan Syariah Nasional (DSN)-MUI yang ditindaklanjuti oleh keputusan rapat Komisi Fatwa - MUI dalam mengakomodir kemaslahatan sejalan dengan maqashid asy-syari’ah yang terdapat pada konsep wakaf tunai berdasarkan pendapat Az-Zuhri, ulama madzhab Hanafi, Maliki dan Hanbali seperti Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qudamah, para ulama Indonesia telah memutuskan untuk membolehkan wakaf tunai.

Isu kesejahteraan sosial dan ekonomi kerakyatan ternyata secara empiris telah gagal dimanivestasikan sistem Sosialis maupun Kapitalis. Bahkan, Keynes (1930) dengan menyerabot secara sepotong gagasan Ibnu Khaldun berusaha mengusung slogan dan wacana kesejahteraan sekalipun melalui gagasan model Negara Sejahtera (Welfare State) di Inggris dan modifikasinya model New Deal yang dikembangkan oleh Franklin Delano Rosevelt mengalami kemandulan. Pasalnya, format eksperimental tersebut tidak menyentuh inti persoalan yang sesungguhnya. Yaitu, keadilan ekonomi yang universal.

Sungguhpun dalam kajian utopian dunia Barat berusaha mengkongkretkan cita-cita keadilan sosial, tapi tetap saja terjadi kerancuan dalam pelaksanaannya. Kemandulan yang dihasilkan elaborasi teori dan praktek yang dilakukan Filsuf sosial Amerika, John Rawls, dalam bukunya The Theory of Justice (1971) yang ditanggapi oleh Robert Nozik dalam bukunya Anarchy, State and Utopia (1974) telah menjadi contoh yang merepresentasikan kegagalan teori keadilan perspektif Barat dalam tataran impelentasi historis.

Sayyid Quthb (1964) pemikir Islam dari Mesir dengan gaya pendekatan komprehensif dalam bukunya Al-‘Adalah Al-Ijtima’iyah fil Islam berhasil memformulasikan teori keadilan sosial dalam Islam dan instrumen pendukungnya termasuk wakaf yang bukan sebatas teori utopis belaka melainkan kajiannya berangkat dari fakta sejarah peradaban Islam. Setelah mengupas pandangan Islam mengenai kasih sayang, kebajikan, keadilan dan jaminan sosial yang menyeluruh antara orang yang mampu dan yang tidak, antara kelompok yang kaya dan yang miskin, antara individu dan masyarakat, antara pemerintah dan rakyat, bahkan antara segenap umat manusia, Quthb selalu membeberkan fakta historis bagaimana konsep tersebut membumi dalam perjalanan kesejarahan generasi terbaik Islam.

Sebagai contoh, Quthb mengisahkan sepenggal fragmen sejarah solidaritas kalangan sahabat; Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali. Di antara impelementasi keadilan sosial melalui prakarsa wakaf dalam pengalaman kesejarahan awal Islam telah dibuktikan Umar bin Khathab sebagai warga sederhana bersedia secara ikhlas atas petunjuk Nabi saw. untuk mewakafkan satu-satunya aset berharga yang dimilikinya berupa sebidang tanah di Khaibar untuk kemaslahatan umat. Dengan menukil pandangan Gibb untuk mendukung kritik sosialnya, Quthb menawarkan sebuah tantangan bagi umat Islam untuk mengulang pengalaman sejarah dalam mewujudkan kembali cita-cita keadilan sosial dengan modal populasi umat yang begitu besar di wilayah Afrika, Pakistan dan Indonesia. Menurutnya, hal itu sangat potensial memberi kontribusi bagi kesejahteraan sosial secara luas.

Gagasan Wakaf Tunai yang dipopulerkan oleh M.A. Mannan melalui pembentukan Social Investment Bank Limited (SIBL) di Banglades yang dikemas dalam mekanisme instrumen Cash Waqf Certificate juga telah memberikan kombinasi alternatif solusi mengatasi krisis kesejahteraan yang ditawarkan Chapra. Model Wakaf Tunai adalah sangat tepat memberikan jawaban yang menjanjikan dalam mewujudkan kesejahteraan sosial. Ia juga mampu mengatasi krisis ekonomi Indonesia kontemporer di tengah kegalauan pemberian insentif Tax Holiday untuk merangsang masuknya modal asing. Model wakaf tunai juga bisa mengalahkan kontroversi seputar policy pemerintah pada UKM yang belum mengena sasaran dan menyentuh inti permasalahan. Wakaf Tunai sangat potensial untuk menjadi sumber pendanaan abadi guna melepaskan bangsa dari jerat hutang dan ketergantungan luar negeri sebagaimana disoroti ekonomi UI, Mustafa E. Nasution (2001) dan menjadi keprihatinan kalangan pengamat semisal Dr. Tulus Tambunan dalam Krisis Ekonomi dan Masa Depan Reformasi (1998).

Wakaf Tunai sekaligus sebagai tantangan untuk mengubah pola dan preferensi konsumsi umat dengan filter moral kesadaran akan solidaritas sosial. Sehingga, tidak berlaku lagi konsep pareto optimum yang tidak mengakui adanya solusi yang membutuhkan pengorbanan dari pihak minoritas (kaya) guna meningkatkan kesejahteraan pihak yang mayoritas (kaum miskin). Sebagaimana, gugatan Chapra dalam berbagai tulisannya.

Berdasarkan laporan yang ditulis Maurice Allais peraih Nobel tahun 1988 dalam bidang ekonomi, dari sebanyak US$ 420 M uang yang beredar di dunia per hari, hanya sebesar US$ 12,4 M (2,95%) saja yang digunakan untuk keperluan transaksi. Sisanya, untuk keperluan spekulasi dan judi. Sedangkan situasi yang diharapkan adalah bila terjadi keseimbangan antara sektor moneter dan sektor riil. Sektor moneter semestinya tidak berjalan sendiri meninggalkan sektor riil.

Oleh karena itu, sangat tepat bila penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan produktif ke sektor riil dimobilisir. Salah satunya, dengan memberikan kredit mikro melalui mekanisme kontrak investasi kolektif (KIK) semacam reksadana syariah yang dihimpun Sertifikat Wakaf Tunai (SWT) kepada masyarakat menengah dan kecil agar memiliki peluang usaha.

Pemberian skim kredit mikro ini cukup mendidik. Ibarat memberi kail, bukan hanya ikan kepada rakyat. Hal itu diharapkan mampu menumbuhkan kemandirian. Porsi bagi hasil untuk fund manager setelah dikurang biaya oprasional dapat disalurkan untuk kebutuhan konsumtif dalam menunjang kesejahteraan kaum fuqara melalui wasiat wakif ataupun tanpa wasiatnya.

Dalam perkembangan kekinian di Indonesia, wacana wakaf tunai telah muncul dan menjelma secara nyata dalam produk-produk funding lembaga keuangan syariah dan Lembaga Amil zakat. Contohnya, Wakaf Tunai Dompet Dhua’fa Republika, Wakaf Tunai PKPU dan Waqtumu (Waqaf Tunai Muamalat) yang diluncurkan Baitul Muamalat - BMI.

Dalam sebuah konferensi yang dihadiri oleh para pemimpin negara anggota PBB yang kategori termiskin dan maju di Brussel, Belgia pada tanggal 14 Mei 2001, diangkatlah topik “Melebarnya Jurang antara Kaya dan Miskin”. Pada konferensi itu Presiden Perancis Jacques Chirac menyatakan bahwa lebih separuh dari 630 juta penduduk di negara miskin hidup dengan pendapatan kurang dari US$ 1 sehari. Meskipun terjadi pertumbuhan global serta adanya bantuan pembangunan, namun jumlah negara yang digolongkan PBB sebagai negara ‘paling terbelakang’ malah meningkat dari 25 negara pada tahun 1971 menjadi 49 negara tahun 2001. Yang dimaksud sebagai negara “paling terbelakang” adalah negara yang angka pendapatan perkapitanya kurang dari US$ 900 per tahun.

Negara Indonesia saat ini hampir memenuhi semua ciri-ciri negara miskin. Antara lain, pendapatan perkapita rendah, tingkat pertumbuhan populasi tinggi, produktivitas rendah, pengangguran tinggi, penggunaan sumber daya rendah, kelembagaan dan infrastruktur tidak memadai. Karena itu, untuk mengurangi beban pemerintah dan rakyat, model Wakaf Tunai sangat tepat untuk melancarkan ketersumbatan fungsi financial intermediary. Sehingga, terjadi arus lancar penyaluran dana ke seluruh anggota masyarakat. Sebagaimana, disebutkan Alquran terhadap pantangan konsentrasi kekayaan (dulah bainal aghniya’) pada segelintir anggota masyarakat serta resistensi terhadap status idle (nganggur) bagi segenap sumber daya dan asset yang bertentangan dengan kosep syukur. (Lihat, QS.Al-Hasyr:7)

Dalam rangka mobilisasi dana masyarakat dan optimalisasi potensi finansial umat untuk kemaslahatan perekonomian, gagasan Wakaf Tunai akan dapat melengkapi UU No.17 tahun 2000 tentang perubahan ketiga atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang pajak penghasilan. Di mana, zakat dimasukkan sebagai faktor pengurang pajak. Di samping itu, juga dapat mendukung lembaga-lembaga pengelola zakat dengan diberlakukannya UU Pengelolaan Zakat Nomor 38 tahun 1999. Departemen Agama sebagai otoritas keagamaan dan saat ini juga otoritas administrasi wakaf secara proaktif telah memintakan fatwa kepada DSN mengenai status hukum wakaf tunai guna penyempurnaan PP No. 28 Th 1977 agar lebih akomodatif dan ekstensif.

Selama ini sudah terdapat beberapa instrumen pendanaan seperti Zakat, Infak dan Sedekah (ZIS). Masing-masing mempunyai kelebihan dan kelemahan sendiri-sendiri. Selain instrumen yang telah ada tersebut, tentunya sangat mendesak dan krusial dibutuhkan suatu pendekatan baru dan inovatif sebagai pendamping mobilisasi dana umat lebih optimal. Bukankah Nabi saw bersabda bahwa selain zakat ada kewajiban lain dalam harta kita.

Dalam konteks ini, Indonesia saatnya belajar dari negara Bangladesh. Melalui Social Investment Bank Limited (SIBL), Bangladesh menggalang dana dari orang-orang kaya untuk dikelola dan disalurkan kepada rakyat dalam bidang pendidikan, kesehatan, kesejahteraan sosial, melalui mekanisme produk funding baru yang berupa sertifikat wakaf tunai (Cash Waqf Certificate) yang akan dimiliki oleh pemberi dana tersebut. Dalam Instrumen keuangan baru ini, sertifikat wakaf tunai merupakan alternatif pembiayaan yang bersifat sosial dan bisnis.

Penerapan instrumen sertifikat wakaf tunai ini mampu menjadi salah satu alternatif sumber pendanaan sosial (M.A.Mannan, 1999). Efek kemaslahatan SWT sudah mulai terasa di Bangladesh. Memang, negara ini tergolong miskin. Tapi, fasilitas pendidikan dan kesehatannya jauh lebih baik dari Indonesia.

Selama ini, sumber dana pengentasan kemiskinan bersumber antara lain dari :

1. Pemerintah pusat, yang disalurkan melalui departemen-departemen dan pemerintah daerah (pemda) masing-masing.

2. Pihak luar negeri, yang disalurkan melalui pemerintah, organisasi-organisasi kemasyarakatan, LSM dan ada yang disalurkan secara langsung kepada pihak yang membutuhkan.

3. Perusahaan swasta, yang disalurkan melalui badan-badan amal, yayasan-yayasan, dll.

4. Masyarakat, dikumpulkan melalui BAZIS (Badan Amal Zakat, Infak dan Sedekah) berupa zakat, infak dan sedekah masyarakat. Selain itu, ada dana yang disalurkan langsung kepada masyarakat yang membutuhkan. Masyarakat Islam juga mengkenal Wakaf, yaitu pemberian tanah atau bangunan yang digunakan sepenuhnya untuk masyarakat sekitar tanah/bangunan dimana wakaf tersebut berdiri. (Masyitha, 2001)

Dengan keterbatasan kemampuan pemerintah saat ini, timbul ide untuk mencari alternatif sumber pendanaan yang lebih bersifat non formal. Yaitu, dengan menggalang dana dari masyarakat Indonesia itu sendiri. Partisipasi aktif segenap rakyat Indonesia yang mempunyai kelebihan rezeki sangat diharapkan memperbaiki keadaan sekarang ini.

Berbagai pihak yang sangat peduli dengan situasi ini berusaha menggalang dana dengan berbagai cara, seperti Dompet Dhuafa Republika, Pos Keadilan Peduli Umat (PKPU), Baitul Maal Muamalat, Dompet Sosial Ummul Qura, Pundi Amal SCTV, RCTI Peduli, Dompet Amal Pikiran Rakyat, dll.

Berdasarkan fenomena di atas, dapat dikatakan bahwa potensi dana masyarakat sangat besar. Berbagai badan amal tersebut, selain mempunyai kelebihan masing-masing, juga mempunyai banyak kelemahannya, seperti;

1. Badan amal tersebut biasanya didirikan secara sporadis dan kurang terkoordinasi meskipun sekarang sudah ada badan akreditasi nasional untuk lembaga penghimpun dana sosial.

2. Kurang sistematis dan koordinasinya pendistribusian bantuan, antara badan amal yang satu dengan yang lain. Sehingga menimbulkan ketidakmerataan bantuan tersebut yang pada akhirnya dapat menimbulkan ketidakadilan.

3. Bila berwakaf dalam bentuk properti, hanya masyarakat di sekitar properti itu saja yang dapat menikmati dan kurang menyebar.

4. Perangkap kemiskinan di Indonesia ini hanya dapat diatasi dengan meningkatkan pendapatan dan kemampuan masyarakat/sumber daya manusia. Sehingga kalau hanya ikan yang diberikan bukan kail-nya, jangan harap kemiskinan ini akan dapat dientaskan di bumi Indonesia.

5. Bantuan dari badan sosial di atas kebanyakan efektif untuk membantu dalam jangka pendek saja, tetapi kurang terprogram untuk jangka panjang (long term).

Dari berbagai paparan di atas, keberadaan model wakaf tunai dirasakan perlu sebagai instrumen keuangan alternatif yang dapat mengisi kekurangan-kekurangan badan sosial yang telah ada. Dalam ajaran Islam, ada yang dikenal dengan Wakaf. Penyaluran Wakaf ini sudah berlangsung sangat lama di Indonesia. Wakaf menurut PP no. 28 Th 1977 adalah perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari harta kekayaannya yang berupa tanah milik dan melembagakannya untuk selama-lamanya demi kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran agama Islam.

Pemberi bantuan Wakaf yang disebut Wakif adalah orang atau orang-orang atau badan hukum yang mewakafkan tanah miliknya. Biasanya wakaf ini berupa properti seperti mesjid, tanah, bangunan sekolah, pondok pesantren, dll. Di sisi lain, kebutuhan masyarakat saat ini juga berupa dana tunai untuk meningkatkan kesejahteraannya.

Berdasarkan prinsip Wakaf tersebut, dibuatlah inovasi produk Wakaf yaitu Wakaf Tunai. Yaitu, Wakaf tidak hanya berupa properti tapi dengan dana (uang) secara tunai. Sebenarnya, ide dasar yang dirumuskan oleh Prof. DR. M.A.Abdul Mannan dan telah diterapkan melalui Social Investment Bank Limited (SIBL) di Bangladesh ini telah lama dilakukan di Indonesia. Beberapa organisasi dan lembaga sosial keislaman sudah menerapkannya dalam ukuran tradisional. Seperti, pembelian wakaf per meter untuk pembebasan sebidang tanah guna pendirian maupun pengembangan lembaga sosial maupun pendidikan dengan menerima bukti (tanda) pembelian tertentu. Namun, wakaf yang ada lebih bersifat konsumtif sosial (voluntary sector) dan belum berkembang menjadi produktif komersial yang hasilnya untuk mustahiq.

Inti ajaran yang terkandung dalam amalan wakaf itu sendiri menghendaki agar harta wakaf itu tidak boleh diam. Semakin banyak hasil harta wakaf yang dapat dinikmati orang, semakin besar pula pahala yang akan mengalir kepada pihak wakif. Dana yang dapat digalang melalui Sertifikat Wakaf Tunai ini nantinya akan dikelola oleh suatu manajemen investasi. Manajemen investasi dalam hal ini bertindak sebagai Nadzir (pengelola dana wakaf) yang akan bertanggung jawab terhadap pengelola harta wakaf.

Persoalannya sekarang, bagaimana model dan mekanisme penerapan Sertifikat Wakaf Tunai ini dapat aplicable dan visible diterapkan di Indonesia. Dengan menimbang dan mengakomodir keberatan kelompok terhadap status hukum wakaf tunai seperti kalangan madzhab Syafi’i yang mengkhawatirkan habisnya pokok wakaf, maka sangat mendesak untuk dirumuskan dan diformulasikan model dan mekanisme semacam early warning untuk mengontrol dan menghindari resiko pengurangan modal wakaf dalam konteks risk management. Meskipun, dananya diputar dalam investasi sektor riil, di samping alternatif menggunakan cara konvensional asuransi dan penjaminan syariah.

Tergalinya potensi dana wakaf yang dahsyat sangat diharapkan melalui impelemntasi Sertifikat Wakaf Tunai yang menyejahterakan masyarakat secara terkoordinatif, sinergis, sitematis dan professional. Di samping itu, tantangan integritas amanah dan kepercayaan (trust) bagi pengelolaan dana sosial (volunteer) menjadi pemikiran bersama untuk mewujudkan bentuk yang fit and proper bagi penerapan konsepnya. Bukankah Allah selalu menjanjikan keberkahan dan kemaslahatan dalam sistem sedekah pengganti sistem ribawi yang eksploitatif dan memonopoli modal. Bukankah Allah juga menjanjikan keberkahan, kemitraan, dan kebersamaan. Marilah kita gagas dan wujudkan bersama.(tim Dakwatuna.com)

Senin, 06 April 2009

Pendampingan Nasabah Terkendala SDM

JAKARTA -- Pendampingan nasabah pembiayaan menjadi faktor cukup penting agar usaha nasabah bisa terus berjalan lancar. Namun kurangnya SDM masih menjadi kendala bagi perbankan syariah untuk melakukan pendampingan tersebut.

Direktur Center for Islamic Studies in Finance, Economics and Development (CISFED), Masyhudi Muqorobin mengatakan, perbankan syariah saat ini masih mengalami keterbatasan SDM untuk melakukan pendampingan bagi nasabah. Saat ini, pembiayaan perbankan syariah sudah meluas ke beberapa sektor, sehingga dibutuhkan SDM yang memiliki kompetensi di sektor pembiayaan tersebut.

Menurut Masyhudi, SDM yang dibutuhkan untuk melakukan pendampingan nasabah tidak hanya berlatar belakang ekonomi. Namun juga dibutuhkan SDM dengan background pendidikan yang sesuai sektor pembiayaan bank, seperti pertanian atau konstruksi. ''Setelah merekrut SDM dari sektor tersebut, barulah diberi pula pelatihan teknis perbankan syariah agar mereka tahu seluk beluk perbankan,'' ujar Masyhudi.

Ia mengatakan, cukup banyak bankir lulusan pertanian, namun belum turun ke lapangan sepenuhnya. Dengan adanya pendampingan, ujar Masyhudi, diharapkan bisa menekan persentase NPF karena usaha nasabah dapat terus dipantau dan memperkecil potensi macetnya pembayaran.

Dari segi keadilan, pemakaian skim mudharabah dan musyarakah merupakan bagi hasil dan risiko. Sementara murabahah lebih kepada pengalihan resiko. ''Tapi untuk menuju dominan ke musyarakah dan mudharabah lebih complicated karena dari sisi SDM belum memenuhi,'' kata Masyhudi.

Menurutnya, dalam skim bagi hasil, dituntut adanya ketelitian pencatatan. Sementara, belum tentu seluruh pedagang memiliki pencatatan hasil transaksinya. Hal inilah yang membuat skim bagi hasil belum banyak diterapkan. ''Perlu pengorbanan dari bank untuk mendampingi pedagang dalam membuat pencatatan,'' kata Masyhudi.

Peneliti Senior Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan Bank Indonesia, Ascarya mengatakan, untuk menjamin kesuksesan penerapan bagi hasil perlu adanya bimbingan secara simultan kepada nasabah. Ia mencontohkan seperti yang terjadi di Iran, dimana pegawai bank melakukan pendampingan.
Subscribe to bisnis_syariah

Powered by us.groups.yahoo.com

Mau Klik Iklan diBayar Rupiah???