Minggu, 25 Oktober 2009

Batasan Tingkat Keuntungan dalam Syariah

Mencari keuntungan dalam bisnis pada prinsipnya merupakan suatu perkara yang jaiz (boleh) dan dibenarkan syara’, bahkan secara khusus diperintahkan Allah kepada orang-orang yang mendapatkan amanah harta milik orang-orang yang tidak bisa bisnis dengan baik, misalnya anak-anak yatim (lihat QS. An-Nisa’:29, Al-Baqarah: 194, 275, 282, An-Nur:37, Al-Jum’ah:10, Al-Muzzammil:20, Quraisy:1-3)

Dan, tak ada satu nash pun yang membatasi margin keuntungan, misalnya 25 %, 50%, 100% atau lebih dari modal. Bila kita jumpai pembatasan jumlah keuntungan yang dibolehkan maka pada umumnya tidak memiliki landasan hukum yang kuat.

Tingkat laba/keuntungan atau profit margin berapa pun besarnya selama tidak mengandung unsur-unsur keharaman dan kezhaliman dalam praktek pencapaiannya, maka hal itu dibenarkan syariah sekalipun mencapai margin 100 % dari modal bahkan beberapa kali lipat. Hal itu berdasarkan dalil berikut:

Ada beberapa hadits Rasulullah saw menunjukkan bolehnya mengambil laba hingga 100% dari modal. Misalnya hadits yang terdapat pada riwayat Imam Ahmad dalam Musnadnya (IV/376), Bukhari (Fathul Bari VI/632), Abu Dawud (no. 3384), Tirmidzi (no.1258), dan Ibnu Majah (no.2402) dari penuturan Urwah Ibnul Ja’d al-Bariqi ra.

Sahabat Urwah diberi uang satu dinar oleh Rasulullah saw untuk membeli seekor kambing. Kemudian ia membeli dua ekor kambing dengan harga satu dinar. Ketika ia menuntun kedua ekor kambing itu, tiba-tiba seorang lelaki menghampirinya dan menawar kambing tersebut. Maka ia menjual seekor dengan harga satu dinar. Kemudian ia menghadap Rasulullah dengan membawa satu dinar uang dan satu ekor kambing. Beliau lalu meminta penjelasan dan ia ceritakan kejadiannya maka beliau pun berdoa: “Ya Allah berkatilah Urwah dalam bisnisnya.”

Dan meraih keuntungan lebih dari yang diambil Urwah pun diperkenankan asalkan bebas dari praktik penipuan, penimbunan, kecurangan, kezhaliman, contoh kasusnya pernah dilakukan oleh Zubeir bin ‘Awwam salah seorang dari sepuluh sahabat Nabi yang dijamin masuk surga. Ia pernah membeli sebidang tanah di daerah ‘Awali Madinah dengan harga 170.000 kemudian dijualnya dengan harga 1.600.000. ini artinya sembilan kali lipat dari harga belinya (Shahih al-Bukhari, nomor hadits 3129).

Namun begitu, Imam Al-Ghozali dalam Ihya’ Ulumuddin-nya (II/72) menganjurkan perilaku ihsan dalam berbisnis sebagai sumber keberkahan yakni mengambil keuntungan rasional yang lazim berlaku pada bisnis tersebut di tempat itu. Beliau juga menegaskan bahwa siapa pun yang qana’ah (puas) dengan kadar keuntungan yang sedikit maka niscaya akan meningkat volume penjualannya. Selain itu dengan meningkatnya volume penjualan dengan frekuensi yang berulang-ulang (sering) maka justru akan mendapatkan margin keuntungan banyak, dan akan menimbulkan berkah.

Pantas kalau Ali ra. pernah berkeliling menginspeksi pasar Kufah dengan membawa tongkat pemukul seraya berkata, “Wahai segenap pedagang, ambillah yang benar, niscaya kamu selamat. Jangan kamu tolak keuntungan yang sedikit, karena dengan menolaknya kamu akan terhalang untuk mendapatkan yang banyak.”

Abdurrahman bin Auf pernah ditanya orang, “apakah yang menyebabkan engkau kaya?” Dia menjawab, “karena tiga perkara: aku tidak pernah menolak keuntungan sama sekali. Tiada orang yang memesan binatang kepadaku, lalu aku lambatkan menjualnya, dan aku tidak pernah menjual dengan sistem kredit berbunga.” Contoh kasusnya, Abdurrahman bin Auf pernah menjual 1000 ekor unta, tetapi ia tidak mengambil keuntungan melainkan hanya dari tali kendalinya. Lalu dijualnya setiap helai tali itu dengan harga 1 dirham, dengan demikian ia mendapatkan keuntungan 1000 dirham. Dan dari penjualan itu ia mendapatkan keuntungan 1000 dirham dalam sehari.

Itulah cermin orang mempraktekkan sabda Rasulullah saw bersabda: “Semoga Allah merahmati orang yang toleran (gampang) ketika menjual, toleran ketika membeli, toleran ketika menunaikan kewajiban dan toleran ketika menuntut hak.” (HR. Bukhari dari Jabir).

Adapun keuntungan yang diharamkan Islam adalah keuntungan yang mengandung unsur dan praktik bisnis haram di antaranya sebagai berikut:

1. Keuntungan dari Bisnis Barang dan Jasa Haram.

Yang tergolong bisnis haram adalah seperti bisnis minuman keras, narkoba (NAZA), jasa kemaksiatan, perjudian, rentenir dan praktik riba, makanan dan minuman merusak, benda-benda yang membahayakan rohani dan jasmani. Di antara hadits yang melarang melakukan bisnis barang dan jasa haram serta memanfaatkan hasil keuntungannya adalah hadits riwayat Jabir ra, Nabi SAW. Bersabda: “Sesungguhnya Allah mengharamkan jual beli minuman keras, bangkai, babi, dan patung”. (HR. Jama’ah, lihat al-Albani dalam Irwa’ Gholil, 1290). Dalam riwayat Ibnu Abbas, Nabi saw. bersabda: “Allah melaknat kaum Yahudi. Diharamkan lemak atas mereka, kemudian mereka menjualnya dan memakan harganya (hasil penjualannya). Sesungguhnya bila Allah mengharamkan kepada suatu kaum memakan sesuatu, maka diharamkan-Nya pula harganya.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud, lihat al-Albani dalam Shahih al-Jami’ ash-Shaghir, 5107) Ibnu Taimiyah berkata, “Hadits ini sebagai hujjah (dalil) pengharaman jual beli minyak najis.”

Diriwayatkan juga dari Ibnu Abbas. Ra, ia berkata: “Nabi saw, melarang harga (jual beli) anjing seraya bersabda:”Jika seseorang datang kepadamu meminta pembayaran harga anjing, maka penuhilah telapak tangannya dengan tanah.” (HR. Ahmad dan Abu Daud).

Diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa Nabi saw, bersabda: “Allah melaknat khamar (minuman keras), peminumnya, penuangnya, penjualnya, pembelinya, pembuatnya, pemesan produknya, pembawanya, orang yang dibawakan khamar kepadanya dan pemakan keuntungannya.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah, Lihat, al-Majd Ibnu Taimiyah dalam al-Muntaqa, II/321)

2. Keuntungan dari Jalan Curang dan Manipulasi.

Nabi saw. bersabda: “Barangsiapa mencurangi kami maka bukanlah dari golongan kami.” (HR. al-Jama’ah kecuali Bukhari dan Nasa’i) “Orang muslim itu adalah saudara orang muslim lainnya; tidak halal bagi seorang muslim menjual kepada saudaranya sesuatu yang ada cacatnya melainkan harus dijelaskannya kepadanya.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah).

3. Manipulasi dengan cara Merahasiakan Harga Aktual.

Rasulullah saw. telah melarang Talaqqi Rukban yakni menghadang kafilah dagang di tengah jalan dan membeli barang-barangnya dengan berbohong mengenai harga aktual dan beliau juga melarang permainan bisnis Najasy (Insider Trading) yakni cara bisnis menaikkan penawaran harga dengan permainan orang dalam. (Pelarangan itu terdapat pada riwayat hadits Muttafaq ‘Alaih dari Abu Hurairah, Lihat al-Ghozali dalam Ihya’ II/72)

4. Keuntungan dengan Cara Menimbun dan Usaha Spekulatif.

Nabi saw. bersabda: “Tidaklah menimbun kecuali orang yang berbuat dosa.” (HR. Muslim) “Barangsiapa yang menimbun bahan makanan selama empat puluh hari maka sungguh ia berlepas dari Allah dan Allah berlepas darinya.” (HR. Ahmad dan Hakim). Sedangkan yang dimaksud dengan praktik menimbun (ihtikar) di sini ialah menahan barang-barang dagangan karena spekulasi untuk menaikkan harga yang membahayakan kepentingan umum. Praktik seperti ini merupakan sistem kapitalisme yang bertumpu pada dua pilar pokok; riba dan penimbunan (monopoli).

Dari uraian di atas jelas bahwa diperbolehkan bagi siapa pun untuk mencari keuntungan tanpa ada batasan margin keuntungan tertentu selama mematuhi hukum-hukum Islam. Serta menentukan standar harga sesuai dengan kondisi pasar yang sehat. Namun bila terjadi penyimpangan dan kesewenang-wenangan harga dengan merugikan pihak konsumen, tidak ada halangan bagi pihak penguasa, sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya, untuk membatasi keuntungan pedagang atau mematok harga Tindakan ini dilakukan harus melalui konsultasi dan musyawarah dengan pihak-pihak terkait agar tidak ada yang dilangkahi maupun dirugikan hak-haknya.

Di Madinah pernah terjadi kasus monopoli dan spekulasi bahan pokok yang menjadi hajat umum masyarakat oleh para pemilik unta. Ibnu Umar meriwayatkan bahwa Nabi saw sebagai penguasa, akhirnya melarang masyarakat membelinya dari mereka sampai bahan pangan itu dijual bebas di pasaran. (HR. Bukhari)

Tapi pada kondisi terjadi kenaikan harga secara objektif, wajar dan legal yang lazim disebut kenaikan harga aktual riil yang sebenarnya yang diakibatkan di antaranya oleh faktor bertambahnya persediaan uang, berkurangnya produktivitas, bertambahnya kemajuan aktivitas, dan berbagai pertimbangan fiskal dan moneter, pemerintah tidak berhak untuk mencampuri mekanisme pasar yang alamiyah tersebut. Pertimbangan inilah yang mendasari sikap Nabi saw sebagai penguasa menolak untuk mematok harga ketika terjadi lonjakan harga di pasar Madinah seraya mengatakan: “Sesungguhnya Allah adalah Penentu harga, yang menahan dan meluaskan rezki, yang Maha Pemberi rezki. Dan saya sangat mengharapkan dapat berjumpa Rabbku, sementara tidak ada seorang pun dari kalian yang menuntutku karena suatu tindakan aniaya pada fisik dan harta” (HR. At-Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad dan Ad-Darimi). Wallahu a’lam. [Oleh: Dr. Setiawan Budi Utomo]

Subscribe to bisnis_syariah

Powered by us.groups.yahoo.com

Mau Klik Iklan diBayar Rupiah???