Rabu, 18 Februari 2009

Ekonomi Syariah dan Kekuasaan Negara

Dalam pembukaan Festival Ekonomi Syariah (FES) di JCC 4 Februari 2009 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberikan pernyataan yang sangat positif bagi perkembangan ekonomi syariah di Indonesia. Beliau antara lain menegaskan perlunya revitalisasi zakat, infak, dan sedekah dalam pembangunan negara. Serta urgensi penguatan ekonomi syariah sebagai instrumen yang dapat meningkatkan sektor riil perekonomian bangsa.

Sebuah pernyataan yang sangat menarik dan mudah-mudahan itu bukan sekedar "lip service" menjelang pemilu saja. Namun, bisa direalisasikan pada tataran kebijakan yang lebih kongkrit ke depannya.

Memang kalau kita berkaca dari sejarah maka salah satu fase penting yang telah dilalui oleh "ekonomi konvensional" sehingga bisa mendominasi dunia saat ini adalah fase political economy. Inilah stage terpenting yang akan memberikan "bentuk dan warna" sesungguhnya pada sebuah sistem ekonomi.

Ketika Adam Smith menulis bukunya yang terkenal An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nation sesungguhnya buku tersebut belum memiliki "arti" apa-apa hingga kemudian ia sampai ke tangan David Ricardo yang juga merupakan anggota parlemen Inggris yang kemudian terpengaruh dan terinspirasi oleh buku tersebut. Akibatnya hal tersebut juga mempengaruhi kebijakan ekonomi Inggris.

Demikian pula di berbagai negara Eropa yang lain. Bermunculan tokoh-tokoh pemikir hebat yang teori-teorinya kemudian dijadikan sebagai landasan kebijakan ekonomi benua tersebut dengan berbagai latar belakang dan kepentingannya.

Dengan adanya interaksi yang kuat antara para tokoh tersebut dengan pengambil kebijakan maka secara perlahan tapi pasti ekonomi konvensional juga mengalami perkembangan yang sangat luar biasa pada sisi keilmuannya. Apalagi Alfred Marshall lewat bukunya The Principles of Economics telah mengklasifikasikan ekonomi sebagai sebuah disiplin ilmu tersendiri. Artinya ekonomi lahir sebagai sebuah bangunan ilmu tersendiri yang memiliki ontologi, epistemologi, dan aksiologi tersendiri.

Proses-proses inilah yang selanjutnya melahirkan sebuah mazhab yang benama Classical Economics yang mampu menguasai panggung Barat sampai munculnya Great Depression pada akhir dekade 1920-an. Kegagalan mazhab tersebut ternyata tidak membuat "habis" ekonomi konvensional. Yang ada justru munculnya mazhab baru yang mampu memberikan jalan keluar yang dihadapi oleh negara-negara Barat saat itu yaitu Keynesian.

Dengan memasuki wilayah kekuasaan dan kebijakan negara pula maka ekonomi konvensional mampu menemukan "bentuk dan warna"-nya. Meski di dalamnya muncul dialektika perdebatan yang luar biasa. Kemunculan beragam mazhab hingga saat ini yang saling mengkoreksi satu dengan yang lainnya merupakan bukti proses dialektika tersebut.

Meski demikian mazhab-mazhab tersebut tetap berpegang pada asas pokok mereka yaitu kapitalisme. Sehingga sampai kapan pun dengan framework ini para pemegang modallah yang akan selalu mendapat keuntungan yang lebih besar dibandingkan kelompok lainnya.

Coordinated Effort
Belajar dari kenyataan sejarah seperti itu maka yang harus dilakukan oleh ekonomi syariah pada saat ini adalah memasuki wilayah kekuasaan dan kebijakan negara. meskipun ekonomi syariah belum "menemukan" bentuknya yang ideal. Baik pada tataran realitas kebijakan maupun pada sisi bangunan keilmuan.

Ia harus diperjuangkan agar dapat masuk pada wilayah "political economy" dan mengendalikan kebijakan negara. Apalagi saat ini, boleh dikatakan, ilmu dan sistem ekonomi konvensional telah gagal karena prinsip dasar Kapitalisme itu bertentangan dengan sunnatullah. Nilai kapital jauh lebih penting dari nilai manusia itu sendiri.

Manusia dianggap sebagai benda mati. Alias faktor produksi dan memiliki posisi yang sama dengan modal dan tanah. Jika terjadi konflik antara manusia dengan profit maka profitlah yang harus dimenangkan.

Inilah kesempatan bagi ekonomi syariah untuk tampil menggantikan ekonomi
konvensional. Ada beberapa langkah yang dapat dilakukan.

Pertama, penguatan atau konsolidasi para penggiat ekonomi syariah secara lebih kuat, baik akademisi, praktisi, politisi, dan stakeholder lainnya.

Kedua, membangun komunikasi politik dengan partai-partai politik, dengan menciptakan sebuah kesadaran bahwa ekonomi syariah bukanlah isu agama, melainkan isu universal yang keberadaannya adalah untuk kepentingan strategis bangsa. Selain itu, penulis memandang perlunya membangun semacam kelompok lobby parlemen yang didukung secara penuh oleh para penggiat ekonomi syariah. Ada baiknya para penyokong ekonomi syariah belajar dari kemampuan lobi Yahudi, yang mampu menggolkan The Federal Reserve Act sebagai undang-undang pada tahun 1913 lalu di AS. Padahal, the Fed bukanlah lembaga pemerintah. Ia adalah lembaga swasta yang diberikan kekuasaan sedemikian besar untuk mengendalikan sektor moneter AS. Penulis membayangkan jika seandainya komunitas ekonomi syariah mampu membangun kekuatan lobi yang dahsyat seperti itu pasti akan sangat luar biasa dampaknya bagi masyarakat, bangsa, dan negara.

Ketiga, membangun jaringan internasional yang lebih kuat di mana fungsi jaringan itu antara lain adalah menjadi pressure group untuk menekan penguasa agar mau menjadikan ekonomi syariah sebagai panglima kebijakan nasional di setiap negara. Minimal pada negara-negara anggota OKI.

Pernyataan SBY harusnya menjadi momentum untuk menjadikan Indonesia sebagai perintis negara yang menganut mazhab ekonomi syariah dalam kebijakan ekonominya. Demi meraih masa depan bangsa yang lebih baik dan sejahtera.

Irfan Syauqi Beik
Ketua Umum Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Malaysia
Kandidat Doktor Ekonomi Syariah IIU Malaysia
Jalan Gombak 53100 Kuala Lumpur, Malaysia
qibeiktop@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Subscribe to bisnis_syariah

Powered by us.groups.yahoo.com

Mau Klik Iklan diBayar Rupiah???